Rabu, 01 Juni 2011

Kesaktian Pancasila Atau Kesakitan Pancasila?

Pancasila di dadaku. foto:gantibaju.com



Dulu ketika semester awal kuliah, ada sebuah joke yang saya ingat. “Kalau mahasiswa tidak mengindahkan norma sopan-santun, dan tidak beradab, bisa dipastikan nilai kewarganegaraannya (mata kuliah Pendidikan Pancasila) dapat ‘D’. Dan mahasiswa yang tidak bermoral atau penganut pergaulan bebas. Pasti nilai mata kuliah Pendidikan Agamanya ‘E’.”

Intermezo atau anekdot tersebut erat kaitannya dengan relasi Pancasila dan Agama yang tidak dapat dipisahkan. Ada wacana, krisis moral dan identitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini akibat dari mulai terkikisnya nilai-nilai Pancasila dan kurang membuminya paham agama yang berkebangsaan.

Maraknya aliran sesat, NII KW 9, tawuran massal, pengrusakan tempat ibadah dan tindakan amoral yang variatif mewarnai tayangan berita kriminal sehari-hari. Guru menganiaya murid, murid membacok guru, ayah memperkosa anak kandungnya, anak menghamili ibu kandungnya. Dan banyak lagi perilaku keji lain yang menjadi penyakit masyarakat.

Semua gejala menyimpang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut sudah mewabah ke semua elemen masyarakat. Dari elit sampai grassroat. Apa penyebabnya? Banyak faktor, dibutuhkan pendekatan agama, sosiologi, antropologi, kriminologi atau ekonomi dalam membedahnya. Yang jelas, dalam menganalisa krisis identitas bangsa yang dialami Republik ini, harus dilihat hulu dan hilirnya. 

Krisis pemimpin = Krisis Identitas Bangsa

Kita coba merefleksikan sejarah: Dalam Fase Orde lama mempunyai identitas jelas, walaupun masih dalam tahap uji coba formulasi Dasar Negara yang bernama ‘Pancasila’. Membangun karakter bangsa (character building) menjadi misi utama yang diemban founding fathers kita ketika itu. Mempersatukan banyak kepentingan, meminimalisir gesekan ideologi, memenuhi ekspektasi banyak golongan upaya yang dilakukan pemimpin kita. 

Terlepas perdebatan versi sejarah siapa yang benar mengenai dinamika yang mengiringi kelahiran Pancasila saat itu. Seperti diketahui, Bung Hatta berupaya menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dengan rasionalisasinya: Ketuhanan Yang Maha Esa sudah merepresentasikan esensi Islam itu sendiri. Bahkan secara komperehensif, Pancasila mencerminkan Islam secara sistem, ajaran dan way of life. Hanya nama dan simbolnya saja yang membedakan.

Kesimpulannya, Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno dengan segala kekurangan dan dosa sejarahnya. Beliau mempunyai karakter kepemimpinan yang kuat, bukan hanya dikagumi di Indonesia, dunia pun mengakui kharismatik dan perjuangannya. Bahkan, di Amerika Latin, ada ideologi bernama Soekarnoisme. Dengan Pancasila, Bung Karno benar-benar memerankan tugasnya sebagai pemimpin bangsa dan Negara. Dia berani mengatakan “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!” Dan yang paling fenomenal adalah penolakan bantuan Amerika kepada Indonesia, dengan tegas Sang Putra Fajar pekikkan, “Go to Hell with your aid! Julukan penyambung lidah rakyat sangat pantas dimandatkan kepadanya.

Kemudian, Fase Orde Baru, Soeharto yang begitu dipuja ketika menumpaskan G30 S PKI bersama mahasiswa, pada akhirnya Ia pun harus dijatuhkan oleh mahasiswa. Namun, dibalik kekurangan dan aibnya itu. Soeharto merupakan corak pemimpin yang tegas, berkharisma, meskipun memang terkesan tangan besi. Tapi, dengan memegang teguh prinsipnya itulah pembangunan berjalan. Dengan menggunakan kesaktian ‘mandraguna’ asas tunggal Pancasila. Partai Politik yang multipartai di Orde Lama, difusikan menjadi tiga. Itu pun harus berideologi Pancasila, Ormas, OKP semuanya harus berjubah Pancasila. Tidak ada Islam, Sosialis atau Komunis.

Sejatinya, itulah kekuatan kunci Soeharto. Terlihat jelas bagaimana ketegasannya dalam mengkondisikan semua lawan politiknya. Dengan Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang bertugas untuk mengatur dan menginternalisasikan kegiatan sosialisasi Pancasila dari pusat sampai daerah. Masyarakat ketika itu dipaksa untuk ‘tertib’ ikut aturannya. Dan harus kita akui, dalam hal keamanan, ketentraman dan kesejahteraan memang lebih baik dibandingkan sekarang (walaupun semu dan kamuflatif).

Dan dalam Fase Refomasi, dengan empat Presiden sudah berganti. Tanda-tanda ‘kesakitan’ Pancasila sudah muncul. Pancasila sudah tidak sakti lagi. Karena diniliai hanya sebuah alat rezim penguasa. Alhasil, inilah wajah peradaban Indonesia kita saat ini. Penuh dengan kekerasan, gangguan keamanan, teror dimana-mana. Kriminalitas tinggi, ekonomi hanya menjadi mainan “utak-atik” BPS atas request penguasa. Survei menjadi dewa, uang sudah menggantikan Pancasila sebagai ideologi utama Partai, Ormas, atau OKP.

Ya betul sekali, inilah pedoman hidup Republik kita. Dimana dunia sedang gandrung dan trend terhadap genre ideologi ini. Kita pun berkiblat padanya, ideologi itu adalah Demokrasi. Meminjam istilah Rocky Gerung, Guru Besar Filsafat UI yang juga mengutip filsuf Jean Jacques Rousseau. “Demokrasi itu ibarat buah yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung sehatlah yang mampu mencernanya.” Sepertinya Indonesia memang belum sehat lambungnya, sehingga buah lezat bernama demokrasi belum bisa kita konsumsi dan menikmatinya. Konsekuensinya, demokrasi hanya melahirkan: transaksional, suap-menyuap, gratifikasi, ‘asal bapak senang’, pencitraan, poster-poster politik penuh kemunafikan, yang kayalah yang menang dan uang menjadi segala-galanya. 

Dengan Reformasi, kita sepakat untuk tidak mengkonsumsi Orde Baru dan segala atributnya. Namun, janganlah juga kita menutup mata akan nilai-nilai luhur dan mulia yang ada dalam rezim tersebut. Yaps, saat ini tidak heran muncul ke permukaan wacana ‘rindu’ Orba. Karena Orba sudah tuntas melembagakan Pancasila dan berhasil membumikannya. Tidak seperti saat ini, kita masih disibukkan dengan perdebatan Islam, Khalifah, Sosialis atau Kapitalis. Sebenarnya, dalam Pancasila sudah terkandung semua itu. Pancasila adalah ‘mix ideology’ yang sesuai dengan kearifan lokal, sosiokultural bangsa ini. Sepertinya, kita memang butuh ‘obat penawar’ kesakitan peradaban dewasa ini. Obat penawar itu adalah, PANCASILA. NKRI harga mati, Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar