Selasa, 07 Juni 2011

SBY, Aktor Peraih Piala Citra (Kategori Peran Sensitif)

SBY lg curhat atas dugaan ada upaya pembunuhan terhadap dirinya pasca aksi teror bom hotel JW Marriot dan Ritrz Carlton, 17 Juli 2009.

Jika ada kontes ”lomba manusia paling sensitif”, mungkin Presiden kita SBY bisa diperhitungkan untuk masuk dalam nominasinya. Masih terekam jelas di memori kita akan pengeboman hotel JW Marriot (untuk kedua kalinya) dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, sehari sebelum kedatangan tim sepakbola tenar Manchester United (MU). 

Tidak lama setelah kejadian itu, siangnya SBY langsung mengadakan konferensi pers. Bukannya menunjukkan simpati dan belasungkawa terhadap para korban, namun dalam pidatonya kurang lebih intinya 'mengajak' seluruh masyarakat Indonesia bersimpati kepadanya atas kejadian ini. Menurut 'curhatnya' dalam konpers itu, mengindikasikan adanya serangkaian rencana pemboikotan akan hasil Pemilu 2009. Dan naifnya ada upaya dari sekelompok teroris yang ingin membunuh Presiden terpilih Pilpres 2009 itu.

Sensitifitas SBY terlihat ketika sindiran maut dalam pidatonya itu menjurus kepada lawan politiknya di Pilpres 2009.  Pasalnya,sebelum terjadi aksi teror bom, Republik ini sedang mengalami gonjang-ganjing kisruh pemilu. Hampir setiap hari kita disuguhi berita gugatan hasil pemilu, dan bisa jadi terbukti benar sangkaan Presiden SBY yang mengaitkan teror bom itu dengan kekecewaan beberapa pihak akan hasil pemilu yang ingin memboikotnya, dan ternyata su’udzon beliau salah, terlebih lagi dugaan intel akan rencana pembunuhan SBY untuk menggagalkan jalan SBY menjadi Presiden RI kedua kalinya.

Seringkali gaya ”ngambek” SBY dalam menanggapi setiap kritik, intrik dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan atau personalitas dirinya ini terjadi. Masih ingat pertengkaran dirinya dengan Taufik Kiemas? Ketika muncul istilah Jenderal ”kekanak-kanakan” dari mulut Ketua MPR itu. Dimana kejadian tersebut buntut dari pengucilan dirinya saat menjabat Menkopolkam Kabinet Megawati. SBY dicap sebagai Jenderal bintang empat 'anak kecil'. Semuanya berawal dari pernyataan SBY kepada wartawan, dimana dirinya 'curhat' merasa dikucilkan oleh Megawati karena 'nyapres' pada Pemilu 2004.

Yang heboh lagi, ketika Zaenal Ma’arif menuduhnya sudah menikah sebelum masuk AKMIL. SBY dituding telah menikahi wanita lain dan memiliki dua anak sebelum menikahi Ibu Ani. Menurut tuduhannya SBY sudah tidak lajang lagi. Jelas saja tuduhan ini tidak bisa diterima oleh SBY, dan ketika itu bekas Mentamben era Gus Dur ini melaporkan fitnah kepada dirinya ke Polda Metro Jaya dengan statusnya sebagai warga negara dan bukan sebagai kepala negara. 

Tampang melankolis sang Presiden (nonton Ayat2 Cinta)
Ini membuktikan bahwasannya tingkat sensitifitas SBY sangatlah peka’. Untuk apa SBY sampai sebegitu paniknya dengan melapor ke Polda Metro Jaya? Toh kalaupun beliau tidak merasa, lebih baik masalah seperti ini tidak usah direspons.

Kalau berita itu terbukti tidak benar, pasti rakyat juga tidak akan percaya begitu saja. Menurut pengamat politik UI Arbi Sanit, Presiden terlalu serius dan sensitif. Padahal isu ini tidak ada nilainya, kasus ini tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat dan tidak ada manfaatnya bagi negara.

Masih banyak lagi jejak rekam kasus sensitifitas SBY lainnya, yang terhangat adalah ketika Munas Golkar di Pekanbaru, Riau (3-7 Oktober 2009). Ketika itu Wapres Jusuf Kalla memberikan pidato sambutan yang salah satu kutipan isi pidatonya menyarankan Partai Golkar kedepannya untuk mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah. Lucunya, keesokannya SBY langsung mengadakan jumpa pers untuk menanggapi pernyataan Wapresnya Jusuf Kalla. Yang mana tinggal menghitung hari sebelum digantikan pasangan baru SBY, Wapres Boediono pada tanggal 20 Oktober 2009. 

Dalam konpers itu, SBY terlihat sangat kesal dengan sikap JK yang notabenenya masih menjabat sebagai Wakil Presiden, dan seharusnya mendukung pemerintahan sampai akhir masa jabatan. Tak lama kemudian direspons balik oleh JK. Dikatakannya, pernyataan sikap Golkar untuk oposisi, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar bukan sebagai Wapres. Sungguh sangat disayangkan kepekaan SBY yang sangat sensitif. Tidak seharusnya dilakukan oleh seorang Kepala Negara, karena hanya akan menimbulkan kegelisahan pada rakyat yang melihat pemimpinnya ternyata ngambekan seperti anak kecil atau layaknya sensitifitas wanita yang sedang datang bulan (haid).

Dan menurut saya, episode yang paling menarik dari perjalanan kehidupan SBY sebagai Presiden selama kurang lebih berjalan dua periode ini adalah kisah ”diam-diaman” mantan Presiden Megawati dengan SBY sejak pencalonan SBY di pemilu 2004 hingga saat ini. Andai saja tidak ada debat capres Pemilu 2009, mungkin mereka berdua tidak akan saling bersalaman atau bertatap muka secara langsung, itupun terkesan terpaksa ketika SBY yang menghampiri Megawati terlebih dahulu untuk menyalaminya. Dan tersirat jelas masih ada kekakuan diantara keduanya. 

Sudah hampir lima tahun sejak Pemilu 2004, Megawati tidak pernah datang setiap diundang Tujuhbelasan Agustus di Istana Negara tiap tahunnya. Lucu memang rivalitas mereka berdua kalau diikuti, tidak jauh berbeda dengan pertengkaran anak kecil yang selalu ngambek dan tidak ada yang mau mengalah jika keinginannya belum terpenuhi.

Mudah-mudahan SBY dalam periode KIB jilid II ini tidak hanya mencari popularitas dan sibuk mencari simpati rakyat saja. Tapi mulailah bekerja secara maksimal untuk pembangunan demi mewujudkan msayarakat adil makmur yang sejahtera, dan yang terpenting gaya kepemimpinannya sudah tidak lagi lamban, ragu-ragu, ataupun mencari aman. 

Dengan dukungan mutlak sebanyak kurang lebih 60% suara rakyat memilihnya secara langsung, SBY memiliki mandat dan amanah rakyat yang harus dijalankan. Dus, tidak ada lagi alasan untuk ragu-ragu, tidak tegas, dan lamban dalam mengambil keputusan. Karena saat ini sudah mayoritas, tidak lagi seperti dulu yang minoritas dan masih dibawah ketiak JK dan Golkarnya yang mayoritas. Berbeda dengan JK yang selalu 'tampil' sebagai problem solver sejak 2004-2009. Saat ini SBY sudah nyaman dan tenang ditemani oleh 'Pak Turut-Manut' (Wapres Boediono) yang hanya sebagai 'ban serep' atau konsultan ekonomi saja.

Jadi, kita semua berharap SBY tidak lagi layak mendapatkan penghargaan atas 'Piala Manusia Paling Sensitif', karena untuk memimpin Negara yang majemuk ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang tegas, berani dan tidak ngambekan (sensitif). #Mari berdoa bersama, Alfaatihaaahh!

SBY tidak jauh berbeda dengan keponakanku yg cengeng dan sering ngambek klo ada yg tidak sesuai dengan keinginannya

NB: Penulis adalah Mahasiwa Ilmu Politik Unas angkt. 2005, aktivis HMI Cabang Jakarta Selatan.
Tulisan ini dikirim untuk mengikuti "Lomba Mengkritik SBY" yang diadakan oleh Nusantara Center.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar