Senin, 13 Juni 2011

Geopolitik Strategis Gas Indonesia

Dirgo Purbo (Pengamat Geopolitik UI)-Foto: Adi Wijaya
Wawancara Dengan Dirgo Purbo (Pengamat Migas)

Potensi Pengembangan Gas Di Indonesia?

Kita harus melihat kondisi aktual Indonesia, kita sudah dalam era net oil importir sejak 2004. Perlu disosialisasikan lebih secara intens dari semua lini. Pertama untuk menyadari dan memahami kondisi alam kita secara fisik minyak kita sudah menurun. Harus disadari bahwa kondisi tingkat nasional 950 ribu barrel, sama dengan kondisi 1971. Kenapa sekarang berbeda,  yang mendasari jumlah penduduk kita, dulu 90 juta, sekarang 230 juta. Dengan tingkat yang sama, tapi dibutuhkan oleh jumlah manusia yang besar, jadi kebutuhan konsumsi 2,5 kali lipat. Kita masih beranggapan kaya minyak, kaya iya, tapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja tidak mampu. 60 persen transportasi, 25 persen untuk listrik. Sisanya untuk petro chemical dan sebagainya.

Kalau kita sudah bicara ketergantungan, kita import 600 ribu barrel per hari, itu baru crude oil, belum bbm, kalau ditotal kita harus import 1,6 juta barrel per hari, bayangkan berapa total devisa setiap hari harus dibayar pemerintah? Upaya paling tepat adalah mengkampanyekan efisiensi energi. Semua sektor transportasi diefisienkan, kemudian harus digalakkan penggunaan bahan bakar gas. Kalau dulu BBG begitu intens pengembangannya, sekarang masuk reformasi kenapa makin lama rontok? SPBG, jaringannya, gak ada sinergi berkomitmen bersama. Pemerintah membangun SPBG harus serempak di kota-kota besar menggunakan gas, subsidi konversi kit. Sekarang semua izin kendaraan umum tapi kondisinya harus menggunakan konversi kit. Saat ini semua izin transportasi diberikan dengan mudah tapi pada waktu yang bersamaan tidak ada upaya untuk mengurangi ketergantungan pada BBM.

Di satu sisi juga, bahwa kita sudah masuk net oil importer itu bukan berarti kita termasuk negara yang “hina” atau tidak mempunyai kekuatan ekonomi. Sebenarnya simbol sub negara yang menyandang status net oil importer itu termasuk dikategorikan negara ekonomi besar. Sekarang negara yang mengimpor adalah AS, Jepang, Cina, Perancis, Jerman, Korsel, India, Belanda, Spanyol. Dan Indonesia juga masuk 10 besar. Coba bayangkan kalau 10 besar ini bersatu dalam Organitation Petroleum Import Country (OPIC), mereka bisa bersinergi bagaimana mengupayakan mendapatkan akses ke sumber-sumber energi dengan cara yang damai. Kalau OPEC dan OPIC bergabung itu bisa berkordinasi mendapatkan korporasi yang baik

Sekarang Negara OPEC kita tidak bisa secara langsung berhubungan. Kita perlu membangun tambahan kilang. Kalau ada kilang harus ada crude oil, paling tidak 15 tahun. Siapa yang bisa menggaransi itu? Dalam konteks kompetisi dunia masuk sumber energi, Iran termasuk negara yang paling bisa kerja sama dengan Indonesia, dari sisi kultural kita hampir mirip, sama-sama pernah anggota OPEC. 

Belum lagi bicara gas, kalau kita bilang gas masih banyak, yang jadi persoalan gas alam yang mengelola kan perusahaan minyak asing. Konsekuensinya adalah mereka yang mendapat prioritas untuk menjual haknya. Setelah itu baru boleh negoisasi untuk dapat dengan Indonesia. 

Gas ini untuk dijual commited long term contract. Minimal 8-15 tahun, semua yang dieksplorasi di Indonesia dan dieksploitasi itu kan LTC yang sudah di established era Orde Baru dan transisi Reformasi. Untuk menghadapinya, harus ada terobosan baru untuk memberikan intensif kepada investor. Khususnya gas. Oke kalau dibilang harga sebagai handcycap

Pada intinya industri2 dalam negeri harga bukan lagi menjadi faktor, tapi kuncinya bisa gak mereka memberi insurance garansi suplai minimal 8-10 tahun di dalam negeri bukan keluar negeri. Dengan harga yang sama pun industri dalam negeri juga sanggup. Jadi sangat ironis, kalau kita mengeksport gas, sementara dalam negeri kalang kabut untuk bagaimana nanti kita harus import gas dan untuk bangun receiving terminal.

Memaknai Geopolik dan Geostrategis Migas?

Dengan alasan gas tidak terpakai di dalam negeri atau kelebihan produksi, sekarang ibarat telur dan ayam dibuat seperti itu terus. Kalau kita komitmen mengutamakan kepentingan nasional dengan memberikan suplai gas ke dalam negeri. Hal itu juga tidak menjadi relevan, apalagi kalau dulu disebut menghasilkan devisa. Apanya yang devisa? Toh semua transaskinya di dalam negeri juga pakai dollar. 

Jadi tidak relevan alasan tersebut. Kalau dilihat dari konteks geopolitik atau geo ekonomic, jelas Indonesia sebagai buffer zone Negara-negara Asia Timur seperti Taiwan, China, Korea Selatan dan Jepang. Jadi Indonesia sudah diplot untuk bisa menggaransi suplai energi dan economic live line mereka untuk bisa survive. Kalau kita bisa menggaransi negara lain untuk survive, kenapa dengan suplai dalam negeri. Ini jadi pertanyaan besar, jangan ada lagi persepsi eksport itu menghasilkan devisa. Tapi kita harus mengutamakan kepentingan dalam negeri, kalau ada sisa-sisa baru bisa dieksport. Sekarang semua industri seperti pabrik pupuk, keramik, pakan ternak dsb semuanya teriak-teriak.

Kita sekarang sudah masuk dekade pertama Abad 21, bahkan sudah berakhir, dan ini babak keduanya. Pertumbuhan dunia bergeser ke Asia Pasifik. Sekarang Indonesia berada dalam posisi geografis yang strategis, kita harus punya sikap dan determinasi untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan ekonomi abad 21. Dasar pertumbuhan ekonomi adalah garansi energi suplay.  

Apapun yang kita canangkan kalau tidak bisa menjamin suplai energi dalam negeri, apanya yang bisa dikatakan tumbuh ekonominya? Baik itu negara G20, G8, G7, APEC atau negara maju lainnya semua harus ada jaminan energi dan romaterial. Jadi ini siklus yang sama terjadi awal abad 19, masuk 20 akses pertarungan energi dan romaterial. Dan Abad 21 pun sama semua atas dasar kekuatan energi security. Jadi nonsen kalau tidak ada roadmap yang jelas.
 
Apapun manusia tidak akan bisa lepas dan menghidar dari kebutuhan minyak, minyak itu kebutuhan sehari-hari manusia. Di Amerika itu sekitar 13 barrel per hari untuk satu keluarga. Kalau dengan kehidupan modern di Amerika yang ketergantungan transportasi begitu tinggi tidak jauh beda dengan Indonesia yang sekitar 4-5 barrel per hari. Sekarang bagaimana kita mengurangi ketergantungan minyak, saya tanya balik ada tidak yang bisa disubtitusi dengan minyak yang mana kebutuhan manusia dari A-Z tidak bisa lepas dari minyak.

Bandingkan dengan Negara maju, mereka punya strategi dan roadmap. Mereka menggunakan minyak secara optimal untuk transportasi dan produk yang mempunyai nilai tambah untuk kehidupan manusia. Untuk kehidupan sehari-hari bisa menggunakan listrik, batu bara atau nuklir. Kalau menggunakan energi sehari-hari klasifikasikan listrik utamanya dengan nuklir, gas alam dan batu bara. Tapi kuncinya, kalau bisa dengan batu bara, jadi mereka prioritas apa yang bisa didapatkan dari negaranya sendiri.

Potensi gas masih besar, untuk mentransportasikan gas dari pipanisasi dan melalui perkapalan. Kalau  dalam satu daratan Negara cenderung pipanisasi. Kalau satu Negara dalam satu daratan mempunyai interkoneksi ketergantungan gas, mereka selalu membangun interconnected gas growth. 

Disinilah kita harus memahami geopolitik dan geostrategis, Negara berfikir bagaimana pipanisasi tidak terganggu sepanjang masa 20-25 tahun karena investasinya besar. Negara yang sudah masuk ketergantungan import gas yang suplainya tergantung dari jalur pipa mereka pasti mengutamakan pemikiran geopolitik dalam perspektif kepentingan nasional. Misalnya pipanisasi di BC, 900 km disalurkan ke Seyhan Turki. Itu dengan alasan menghindari Rusia, karena kekuatan Rusia sering memblokade suplai. 

Kenapa mereka selalu khawatir, karena di Eropa itu ada 4 musim, jadi ketika musim dingin tidak ada garansi suplai energi ketika suhu 0 derajat celcius, bagaimana mereka bisa hidup tanpa energi, jadi mereka sudah mempersiapkan dari jauh hari. Berbeda dengan kita yang hanya dua musim, jadi tidak terlalu memikirkan faktor musim yang mengganggu suplai energi, dan hasilnya kita sekarang selalu mengentengkan karena sudah ternina bobokan.

Posisi geostrategis Blok Natuna yang kaya gas adalah dekat dengan Thailand, Taiwan, Jepang, Korsel dan China. Mereka kita tawarkan harga tinggi jelas akan diambil, daripada import dari timur tengah dengan jarak perjalanan pasokan gas yang jauh, lebih baik pipanisasi dari Blok Natuna. Dan Blok Tangguh itu dekat sekali ke Asia Timur seperti Jepang, China dan Korsel. Dimanapun lokasi ditemukan sumber gas di Indonesia itu secara otomatis memberikan keuntungan sangat besar terhadap Negara-negara di Asia Timur, itu yang paling tak ternilai harganya dengan posisi geografis Indonesia.

India pun punya grand strategi yang diistilahkan lucky’s policy, yang mana berupaya mendapatkan sumber enegi berupa gas, batu bara dan romaterial seperti biji besi, tembaga, uranium, emas. Bayangkan ada dua kekuatan Negara di tetangga kita yang begitu besar membutuhkan romaterial dari Indonneisa, yang kita butuhkan  adalah stabilitas politik dan aturan main. Sekarang banyak overlapping (gangguan keamanan/sulitnya perijinan) itu pun masih menjadi incaran investor.


Regulasi PSC yang ideal untuk pengembangan gas?

Skema Production Sharing Contract (PSC) untuk gas, kita harus melihat pihak investor yang tidak bisa memilah-milah potensi hidrokarbon C1-C36 di suatu prospek tersebut, kalau survey geologinya itu cenderung lebih banyak minyak, jelas investor pasti lebih memilih mencari minyak dibandingkan gas. Yang membedakan kalau mereka mencari minyak kemudian dapatnya gas, selama gas itu dapatnya besar dan komersial bisa dikembangkan. 

Mengenai bagi hasilnya kembali ke sistem yang simple 50-50, namun harus cepat kembangkan dan utamakan dalam negeri. Jangan 65-35 tapi ada first term’s petroleum atau domestic market obligation itu sangat rumit. Investor itu kuncinya ingin mengalokasikan dananya, commited untuk mendapatkan prospek, prospek itu punya nilai, nilai itu kembali rate of returnnya tinggi. 

Bukan diajak bergelut untuk menghadapi fiscal term yang rumit. Kalau kita memberikan attractive intensif, investor pasti berebut datang ke Indonesia. Sekarang ada 245 perusahaan minyak di Indonesia, berapa yang sudah produksi? Sangat minim sekali yang sudah produksi, darimana rasionya? Produksi minyak dan gasnya berapa? Itu tidak matching, berarti ini ada yang missing link. Ada banyak yang sudah kapling lapangan migas, tapi kenapa produksi kita rendah, gas kita krisis (criss cross). 

Tidak ada yang bisa menjamin industri kita hidup. Solusinya, evaluasi semua ini dan jangan lagi mengacu kepada fiscal term’s yang lama. Harus ada terobosan yang legalitas dan commercial aspeknya sudah mapan. Ini untuk menunjang pertumbuhan ekonomi kita, dan pemerintah tidak ada yang dirugikan, yang dirugikan justru investor.

Kalau melihat perbandingan ini (calculation risk), pemerintah dan investor prinsipnya ada dua perimbangan dan apa yang bisa didapatkan. Pemerintah sebagai fasilitator dan akomodator untuk kebutuhan perusahaan migas. Perusahaan migas yang punya financial risk, geological risk, stabilitas politik. Kalau kita berikan intensif yang tinggi untuk menutup tiga aspek yang dibebani perusahaan migas. Jelas, investor pasti akan berlomba-lomba berinvestasi ke Indonesia. 

Bedanya dengan industri lain, investor perusahaan minyak melihat prospek. Dia tidak peduli apakah negara itu stabil atau tidak. Lihat di Afrika, itu semua karena mereka membutuhkan. Dan negara yang dituju investor juga harus melindungi. Untuk kasus Libya, negara tersebut memang secara geografis  buffer zone nya Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika. Walaupun Libya sedang tidak stabil, tetap saja investor akan datang dan menjadi ajang rebutan.

Inilah yang harus dicermati kita, memang ada nilai plus kalau politik stabil. Tapi kalau fiscal term’s-nya rumit, percuma saja kestabilan yang ada. Peringkat kerumitan fiscal term’s kita ada di urutan 290 di dunia, namun walaupun aturan main dan perizinannya rumit tetap saja perusahaan migas datang. Ditambah lagi perusahaan migas dicekik dengan aturan baru cost recovery, dan perlu dicatat bahwasannya tidak ada satu sen pun cost recovery itu uang negara.

Peta bisnis Gas secara geopolitik dan geostrategis dunia?

Tahun 1991 ketika Uni Soviet pecah, pecah dengan konsep grand chess bron (blezinsyky) dan negara pecahannya adalah Turkmenistan, Kazahkstan, Krysgistan merupakan negara-negara penghasil migas yang cukup besar. Kawasan itu berkembang dan menjadi suplai ke Negara Eropa Barat. Kalau Eropa Timur jelas ke Rusia, dan 100 persen suplai gasnya tergantung kepada Rusia. Eropa Barat tergantung 65 persen, inilah yang dikhawatirkan dari Eropa Barat dan Timur adalah factor ketergantungan, dan sekarang Eropa Barat mengandalkan jaminan suplai dari Afrika Utara. 

Saat ini Afrika Utara bergejolak yang semua negaranya adalah penghasil gas terbesar. Mereka punya ketergantungan satu sama lain. Presiden Obama ketika awal menjadi Presiden, Negara pertama yang dikunjungi adalah Turki yang merupakan titik oil and gas terminal. Ini menunjukkan sebegitu besarnya Negara Super Power Amerika juga mempunyai ketergantungan energi dalam jumlah besar.

Dalam konteks Indonesia, harus ada material energy balance, mirisnya dari C1 (LNG), C4+C5 (Methan, ethan)-C36 kita import semua. Sampai aspal kita import 800 ribu ton per tahun, padahal Buton di Sulawesi adalah penghasil aspal terbaik dunia. Kenapa tidak bisa memenuhi kebuthan dalam negeri, inilah yang harus diinventarisasi apa yang kita punya.

Inilah yang harus kita pahami dari geo economic yang landasannya adalah geo politic. Geo economy dasarnya ada di material energy balance. Akses dari krisis timur tengah dan Libya, harus dilihat kita sebagai net importer. Kita import dari 18 negara seperti Libya, Bahrain, Oman, Yaman, Qatar, Arab Saudi, Pakistan, Brunei, Papua Nugini dsb. Kalau ada gejolak, otomatis terganggu suplai ke Indonesia. Dengan posisi Indonesia, apakah tetap menjadi prioritas dari Libya? Tentu sangat mustahil.

Kita tidak punya long term contract dari Negara produsen migas. Kita tidak mempunyai kerjasama di suatu lahan yang sudah produksi dari Negara-negara tersebut, artinya production rate-nya kita tidak punya. Berarti kita belinya dari pedagang dan harga premiumnya lebih mahal. 

Kalau dalam keadaan emergency, tentu dalam keadaan berapapun ditawarkan kita akan beli. Inilah pangkal dari penggerusan APBN kita. Kalau harga minyak kita yang crude price-nya dibawah harga internasional (45 dollar), dan jika harganya 110 dollar per barrel ketika kita membutuhkan dan dalam keadaan emergency pada harga berapapun yang ditawarkan diatas 110 dollar per barrel akan dibeli. Karena untuk menghindari Indonesia dihadapkan pada CEO Tip supply, kalau sudah CEO Tip supply nanti akan terjadi kelangkaan dan antrian dimana-mana untuk membeli minyak. Dampak APBN ketika kuartal pertama dengan harga minyak interval tinggi, APBN kita defisit Rp 18 triliun. Inilah titik kelemahan kita dalam konteks strategi cadangan nasional.

Mengenai infrastruktur gas yang masih kurang, kalau kita punya perencanaan yang matang, itu tidak akan menjadi permasalahan. Ketika 1984, saya bekerja di Natuna, kita buat perencanaan pipanisasi ke Lhouksemawe, Jawa Barat, Singapura dan Hongkong. Semuanya ada alasan tersendiri. Kenapa pertama kali ke Lhouksemawe, karena diprediksikan tahun 2002 tidak komersial dan akan menurun dalam konteks ekonominya versi perusahaan asing, kedua akan mendukung pabrik pupuk disana. 

Dan dibuat cabang ke Riau untuk pembangkit listrik. Kemudian tahun 1985, semua itu hilang tapi pipanisasi yang tidak menjadi prioritas itu diutamakan yaitu pipanisasi ke Singapura. Seharusnya, kalau memang kebutuhan itu diprioritaskan dalam negeri bisa saja ke Lhouksemawe atau Jawa Barat. Dan investasi pabrik pupuk disana sangat prospektif. Persoalannya adalah harus ada good willingness mensupport industri dalam negeri untuk mengoptimalisasikan penggunaan gas alam.

Harapan untuk mengoptimalkan gas sebagai alternatif mengurangi ketergantungan minyak?

Bicara energi adalah non renewable dan renewable. Sekarang kita petakan bagaimana posisi migas, apa yang menjadi kendala. Ini harus ada revolusi birokrasi dalam kegiatan operasi mereka. Siapapun yang menghalang-halangi baik itu pemda, parpol di daerah harus disingkirkan. Karena untuk mengoptimalkan kebutuhan migas nasional. Kita harus memberikan “Full red carpet services” kepada mereka, karena memang kita butuh mereka. Kemudian, gas kita masih punya kekuatan. Nurfahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar