Saat ini susah membedakan mana oposisi mana koalisi-(ilustrasi: matanews.com) |
Dulu ketika Orde Baru kaum oposan sangatlah langka, hanya aktivis dan tokoh bernyali besarlah yang menjadi tukang kritik dan berani melawan kebijakan rezim Soeharto. Pasca Reformasi, baru semua berani 'berkicau'. Dan status ketokohan para pengkritik di alam demokrasi liberal ini masihlah belum bisa disejajarkan dengan oposan zaman otoritarian 'Bento'.
Namun, bukan berarti ketika rezim sudah tidak tirani lagi. Semangat perjuangan oposan melawan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat jadi mengendur. Karena bagaimana pun juga, mau dikemas dengan pencitraan yang soft power atau santun dalam bertutur kata. Yang namanya kekuasaan itu mutlak dan rentan terhadap penyelewengan. Seperti yang pernah dikatakan politisi Inggris Lord Acton di Abad 19, "Power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely."
Ex Aktivis pun sekarang sudah 'selingkuh' dengan penguasa (foto:politikana.com) |
Lalu, bagaimana peran dan posisi oposan dalam mengisi reformasi? Kita hanya berharap ada reinkarnasi pejuang seperti Wiji Thukul, Munir, WS Rendra dengan aksi teatrikal kritik sosial sastrawinya, Iwan Fals muda dengan lirik-lirik lagu sebagai lonceng kematian bagi kuping penguasa dan alm. Franky Sahilatua yang baru saja meninggalkan kita.
Saya rasa, 13 tahun usia Reformasi banyak plus-minus perubahan yang terjadi di Republik ini: Otonomi daerah (walaupun masih banyak PR), Militer kembali ke barak (walaupun yang terjadi selama ini kontestasi politik tetap didominasi ex. militer) lihat saja bagaimana Pilpres 2009 kemarin yang menjadi ajang 'perang bintang' purnawirawan Jenderal. Memang itu merupakan hak politik setiap warga negara, namun tetap saja penyalahgunaan institusi masih sangat sering terjadi. Karena dalam konsep komando di militer sangatlah mendukung 'operasi intelejen' bercita rasa politis.
Dan hal-hal yang perlu menjadi perhatian khusus adalah keadilan dan kepastian hukum yang masih jauh api daripada panggang, jaminan kebebasan beragama yang belum bisa digaransi oleh penyelenggara negara. Dan yang terpenting adalah pemberantasan korupsi sampai ke akarnya.
Update Status (Santun)
Beroposisi di dunia maya-(Foto:bubust.com |
"Ngapain sih kritik-kritik pemerintah di Facebook atau twitter, toh nggak bakal didengar juga," kata salah satu keluarga saya mengingatkan.
Memang saya sadari betul, dalam konsep amar ma'ruf nahi munkar. Menulis, kritik tanpa solusi dan hanya berkoar-koar (billisan) itulah selemah-lemahnya iman (perjuangan).
Jadi, kesimpulannya adalah kedepan saya tetap akan mengeluarkan jeritan isi hati yang tentu saja konstruktif dan solutif. Dus, "Kritik (oposisi) yes, santun yes." Saya sepakat bahwasannya kebebasan janganlah kebablasan, kita semua juga berharap penguasa jangan menjadikan kekuasaan sebagai pemuasan (kepentingan) segelintir kelompok saja. (Pernah dimuat di Suara Pembaca-Opini detikcom, 12 Mei 2011)
Nurfahmi Budi Prasetyo, aktivis HMI Jakarta Selatan. S1 Ilmu Politik Universitas Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar