Selasa, 13 September 2016

Pilkada 2017: Jangan Jadikan Pemilih Seperti Pokemon!

Ilustrasi Pokemon - foto: setempo.com

LOMBA MENULIS OPINI : PEMIMPIN IDEAL UNTUK DAERAH
Demokrasi Indonesia hari ini adalah anugerah. Bagi mereka yang gerah dengan Rezim Orba yang pongah. Ia bisa berubah menjadi musibah. Ketika sistem yang ada dibiarkan melanggengkan praktik ‘Politik Berburu Pokemon sampai Basah (baca: kecebur)’. Maksudnya? Tau kan Pokemon yang wabahnya lebih dulu menjalar sebelum fenomena ‘Mukidi’? Bedanya, Pokemon menjadikan penggunanya ‘jalan sambil menunduk mencari Poke Ball, tak sadar di depannya danau/selokan. Byur! Basah deh.’ Kalau membaca cerita lucu Mukidi, kita bisa ngakak dibuatnya.
Nah terkait Pilkada, kandidat mencari pemilih bak berburu Pokemon. Rata-rata yang bermain Pokemon itu autis. Menabrak aturan yang dibuat. Menghalalkan segala cara. Rakyat diibaratkan Pokemon yang hanya dijadikan objek bukan subjek. Partisipasi politik tidak dibangun. Kandidat asyik mendulang pemilih dengan uangnya. Kurang lebih sama seperti Aplikasi Game Pokemon yang sempat viral di dunia. Jika ingin mendapatkan Poke Ball langka, anda harus mengupgradenya ke aplikasi premium berbayar. Di Pilkada, jika ingin menang anda harus banyak-banyakan fulus.
‘Strategi Politik Berburu Pokemon Sampai Basah’ tak berlaku bagi kandidat yang visioner dan teruji rekam jejaknya. Mereka tak akan membeli suara dengan uang hasil gadai asetnya. Calon Pemimpin Ideal juga tak perlu disponsori pengembang, pengusaha tambang, Migas, dsb. Apalagi menjanjikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Perusahaan Sawit/Tebu. Mereka juga tak mungkin menggadaikan idealismenya dengan menyapi-perahkan BUMN/BUMD. Tak ada titipan CSR, Program Kemitraan & Bina Lingkungan (PKBL) Kementerian, Perusahaan/BUMN. Apalagi sampai mengklaim Program Pemerintah Pusat. Dimana karena kewenangan & aksesnya ke Kementerian, Anggaran untuk program tertentu ditenteng bak Sinterklas, lalu diklaim sebagai ‘sesajen’ darinya kepada pemilik suara.
Calon Pemimpin Ideal untuk Daerah tak harus ‘berdarah-darah’ merebut hati rakyat jika punya modal sosial. Modal politik (rekomendasi partai) maupun ongkos politik (bayar saksi, alat kampanye & uang lelah timses) akan datang dengan sendirinya jika portofolio sosial & kontribusinya nyata. Apapun profesinya. Dimanapun medan perjuangannya. Selama itu tulus mewujudkan kebajikan bersama (common good). Berfaedah berdayakan masyarakat: selama itu pula karya & kerja nyatanya akan DIBAYAR KONTAN DI PILKADA.
Penyakit lama Pilkada yang sudah akut salah satunya ialah Politik Uang. Semua doyan duit. Tapi duit bukan segalanya. Saya jadi teringat ketika menjadi timses salah satu Calon Walikota di salah satu daerah. Ketika itu, atas saran banyak pihak, orang pertama yang kami kunjungi ialah Koordinator Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Ia mengaku mengatur penempatan seluruh Panitia Pemungutan Suara (PPS), & Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS seluruh kelurahan. Dengan logat Betawi yang kental, sambil menyeruput secangkir kopi hitam yang mengepul, Koordinator PPK itu membuka tarif.
Babeh, begitu kami memanggilnya, dengan bangga menceritakan pengalamannya yang seabrek dalam Pemilu 2014 dan Pilkada sebelumnya. Dimana ia kebanjiran hadiah setelah memenangkan banyak orang jadi Anggota DPR, DPRD, maupun Walikota dan Gubernur. Bak sales yang menawarkan produk, Babeh membandingkan tarif menurut kelas (level) hajat politiknya. “Kalau Pileg saja, sekelas DPRD ngasih 1 Avanza tuh waktu dia menang. Ya harganya relatif sama: 1 suara Rp 100 Ribu. Kalau DPR dan Pilgub bisa Rp 150 – 200 Ribu. Pilwalkot, ente kira-kira aja-lah pantasnya berapa?” ungkapnya sambil ‘nyengir kuda’. 
Menanggapi itu, saya belagak pilon bertanya: “Terus kalau mau menang butuh berapa suara yang diamankan, Beh tiap TPS-nya.” Dengan gampang Ia menjawab, “1 TPS 20 Suara. Dari 20 suara tiap orang bawa minimal 3 orang. Kalau 1000 TPS: 20.000 suara. 1 Suara Rp 100.000. Ya semuanya bersih Rp 2 M! Sekelas Walikota itu mah kecil. Kalau mau aman kan 300.000 suara. Apalagi you head to head.” Setelah pertemuan malam itu, kami tidak pernah lagi berurusan dengannya.
Ini fakta. Jangan berkhayal ketinggian bermimpi mencari #PemimpinIdealuntukDaerah2017 jika proses memilihnya saja dinodai ‘najis mugholladoh’ (najis besar) bernama POLITIK UANG. Dan dari seluruh Pilkada di Nusantara ini, nyaris tak ada yang luput dari praktik tersebut, baik aparat penyelenggara, pengawas, pemilih, timses, maupun kandidat. Bahkan penegak hukum terakhir yang seharusnya menjadi PENJAGA GAWANG Konstitusi: Mahkamah Konstitusi (MK), Ketuanya dulu pernah tersangkut kasus SUAP yang memenangkan kandidat di beberapa Pilkada.
Membangun bangsa tentu dengan merawat OPTIMISME. Bangsa ini harus bangga, dan mengakui sistem desentralisasi (Otonomi Daerah) yang telah sukses melahirkan Pemimpin Daerah berintegritas seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, Risma, Ridwan Kamil, Prof. Nurdin Abdullah, Azwar Anas, Danny Pomanto, dll. *Yang disebut bukan titipan sponsor. Mereka tentu juga memiliki kekurangan, namun PANTAS disebut sebagai Kepala Daerah sukses produk Pilkada. Kenapa Ahok gak disebut? Ia bagus, tapi sayang hobinya menggusur rakyat kecil.

Pemimpin Ideal untuk Daerah 2017
- See more at: http://siperubahan.com/read/2953/Pilkada-2017-Jangan-Jadikan-Pemilih-Seperti-Pokemon#sthash.XSHHLHF1.dpuf