Raja Ampat (Papua)-(Foto: rinitora.com) |
Membicarakan Papua dan Papua Barat memang tidak ada habisnya. Provinsi yang terkenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya ini sudah sejak 2001 dan 2008 diberlakukan otonomi khusus, namun karena salah urus kesejahteraan masyarakat Papua belum juga terwujud.
Selasa, (16/6/2010), Doekoen Caffee mengadakan peluncuran Buku “Papua 100 Tahun Ke Depan”. Buku karangan Wawan H. Purwanto ini mengangkat carut marut otonomi khusus Papua, Freeport, Separatisme, dan isu-isu kesejahteraan masyarakat Papua lainnya.
Dalam sambutannya, penulis buku yang juga terkenal sebagai pengamat intelijen ini mengatakan, “Banyak putra-putri Papua yang brilian, terbukti dari kemampuan Putra Papua yang telah menorehkan prestasi tinggi. Lihatlah Obama, siapa sangka seorang kulit hitam, keturunan Afro Amerika muncul sebagai orang nomor satu di negara adidaya. Menyimak dari hal tersebut, suatu saat nanti Putra Papua dapat duduk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Jadi mengapa harus berpikir untuk berpisah wahai saudaraku.”
Acara ini di gawangi oleh aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti. Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) sekaligus menjadi moderator dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut. Hadir juga sebagai pembicara Yonas Alvon Nusi (Sekjen Barisan Merah Putih), Decky Natalis (intelektual muda Papua), dan Meni Kogoya (Tokoh Papua).
Haris Rusly mengutip ucapan Bung Karno “Mengapa kita merdeka baru pada tahun 1945, karena selama 3 abad lebih, Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pattimura, Hasanuddin dan lain-lain mereka berjuang sendiri dengan rakyat di daerahnya saja. Kalau kita tidak dijajah mungkin rasa persatuan hingga kini tidak akan ada, kesatuan adalah suatu kebutuhan, Uni Eropa, CAFTA, bersatu untuk gerakan kulturan untuk membangun ekonomi.”
Alumni Fakultas Sastra UGM ini menambahkan otonomi khusus Papua hanyalah ajang bagi-bagi uang (baca-nyogok), ini akan jadi malapetaka, di luar faktor material, karena untuk meredam aksi separatisme, pemerintah baru panik dan baru memberikan otsus tersebut ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) bergejolak.
Sedangkan Meni Kogoya mengingatkan akan perampokan yang dilakukan oleh peruasahaan asing seperti PT. Freeport, “Kalau pemerintah pusat tidak pernah memperhatikan rakyatnya, bukan hanya 100 tahun lagi, mungkin 10 tahun lagi Papua akan keluar dari NKRI,” ujarnya di depan peserta diskusi yang kebanyakan aktivis dan wartawan.
Pada sesi tanya jawab, Peter Simekey seorang masyarakat Papua yang tinggal di Jakarta mengatakan, “Di Papua sumber daya alam kaya tapi miskin investasi intelektual, tidak seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur-red), yang miskin sumber daya alam namun kaya akan investasi intelektual, lihat saja dari banyaknya tokoh yang lahir dari NTT seperti Fran Seda mantan menteri di era Orde Baru yang baru saja meninggal.”
Peter menambahkan “Dana otonomi khusus sebenarnya siapa yang salah kelola? Kalau kita menyalahkan Jakarta itu salah, karena yang ngurus dana tersebut adalah Pemerintah Daerah seperti Gubernur, jadi orang Papua juga yang tidak bisa memanfaatkannya.” Dan Haris Rusly langsung menjawab dengan enteng komentar peserta tersebut, “yang salah SBY,” jawabnya dengan enteng.
Nurfahmi Budi Prasetyo
(Liputan yang ga dimuat buat dicetak-Harian Rakyat Merdeka 16 Juni 2010)
Selasa, (16/6/2010), Doekoen Caffee mengadakan peluncuran Buku “Papua 100 Tahun Ke Depan”. Buku karangan Wawan H. Purwanto ini mengangkat carut marut otonomi khusus Papua, Freeport, Separatisme, dan isu-isu kesejahteraan masyarakat Papua lainnya.
Dalam sambutannya, penulis buku yang juga terkenal sebagai pengamat intelijen ini mengatakan, “Banyak putra-putri Papua yang brilian, terbukti dari kemampuan Putra Papua yang telah menorehkan prestasi tinggi. Lihatlah Obama, siapa sangka seorang kulit hitam, keturunan Afro Amerika muncul sebagai orang nomor satu di negara adidaya. Menyimak dari hal tersebut, suatu saat nanti Putra Papua dapat duduk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Jadi mengapa harus berpikir untuk berpisah wahai saudaraku.”
Acara ini di gawangi oleh aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti. Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) sekaligus menjadi moderator dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut. Hadir juga sebagai pembicara Yonas Alvon Nusi (Sekjen Barisan Merah Putih), Decky Natalis (intelektual muda Papua), dan Meni Kogoya (Tokoh Papua).
Haris Rusly mengutip ucapan Bung Karno “Mengapa kita merdeka baru pada tahun 1945, karena selama 3 abad lebih, Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pattimura, Hasanuddin dan lain-lain mereka berjuang sendiri dengan rakyat di daerahnya saja. Kalau kita tidak dijajah mungkin rasa persatuan hingga kini tidak akan ada, kesatuan adalah suatu kebutuhan, Uni Eropa, CAFTA, bersatu untuk gerakan kulturan untuk membangun ekonomi.”
Alumni Fakultas Sastra UGM ini menambahkan otonomi khusus Papua hanyalah ajang bagi-bagi uang (baca-nyogok), ini akan jadi malapetaka, di luar faktor material, karena untuk meredam aksi separatisme, pemerintah baru panik dan baru memberikan otsus tersebut ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) bergejolak.
Sedangkan Meni Kogoya mengingatkan akan perampokan yang dilakukan oleh peruasahaan asing seperti PT. Freeport, “Kalau pemerintah pusat tidak pernah memperhatikan rakyatnya, bukan hanya 100 tahun lagi, mungkin 10 tahun lagi Papua akan keluar dari NKRI,” ujarnya di depan peserta diskusi yang kebanyakan aktivis dan wartawan.
Pada sesi tanya jawab, Peter Simekey seorang masyarakat Papua yang tinggal di Jakarta mengatakan, “Di Papua sumber daya alam kaya tapi miskin investasi intelektual, tidak seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur-red), yang miskin sumber daya alam namun kaya akan investasi intelektual, lihat saja dari banyaknya tokoh yang lahir dari NTT seperti Fran Seda mantan menteri di era Orde Baru yang baru saja meninggal.”
Peter menambahkan “Dana otonomi khusus sebenarnya siapa yang salah kelola? Kalau kita menyalahkan Jakarta itu salah, karena yang ngurus dana tersebut adalah Pemerintah Daerah seperti Gubernur, jadi orang Papua juga yang tidak bisa memanfaatkannya.” Dan Haris Rusly langsung menjawab dengan enteng komentar peserta tersebut, “yang salah SBY,” jawabnya dengan enteng.
Peta Papua-(Foto: samuel-karwur.blogspot.com) |
Nurfahmi Budi Prasetyo
(Liputan yang ga dimuat buat dicetak-Harian Rakyat Merdeka 16 Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar