Rabu, 08 Juni 2011

(Lagi) Kebakaran Kilang Minyak Pertamina


Sudah berulang kali kejadian terbakarnya kilang minyak milik Pertamina terjadi. Menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah Pertamina tidak pernah belajar dari kejadian yang sudah sering terjadi ini, dan seberapa optimalkah penerapan standar baku Health Safety Environment (HSE)?

Kebakaran Kilang Minyak Pertamina Cilacap-(Foto: demosrvr.com)
Insiden terbakarnya tangki Pertamina di Cilacap (2 April 2011) merupakan kebakaran kilang pertama pada 2011. Tapi, sebelumnya, sejak 2008 hampir setiap tahun terjadi insiden terbakarnya pipa ataupun tangki milik Pertamina.

Pada 9 Maret 2008, pipa kilang minyak milik Pertamina di Cilacap terbakar dan menewaskan dua orang pekerja. Pada 3 Juni 2009, terjadi kebocoran yang menyebabkan kebakaran di kilang Fuel Oil Complex (FOC) II Unit B dan terakhir pada 24 Januari 2010 terjadi letupan di unit pembuatan bahan dasar pelumas di kilang Pertamina Cilacap.

Selain di Cilacap, tercatat depo bahan bakar minyak (BBM) di Plumpang, Jakarta Utara terbakar pada 18 Januari 2009 dan sebuah tangki pada unit Residu Catalytic Cracking (RCC) Kilang Pertamina UP VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, juga terbakar pada 19 Juli 2009.

Menurut data yang diperoleh indoPetro, jumlah tangki yang berada di dalam kompleks Kilang Refinery Unit (RU) IV Cilacap sebanyak 207 tangki. Tangki-tangki yang berada di kompleks kilang terdiri dari tangki komponen yaitu tangki yang menyimpan bahan-bahan yang akan diolah untuk menjadi produk BBM dan tangki finished product yaitu tangki yang menyimpan Bahan Bakar yang sudah menjadi produk BBM seperti Premium, Kerosin (Minyak Tanah), Solar maupun Avtur. Tangki-tangki tersebut memiliki kapasitas yang bervariasi antara 2400 KL hingga 117.000 KL. 

Dalam rilis persnya kepada wartawan, Vice President Coorporate Comunication Pertamina (Persero), Mochamad Harun, ketika kejadian pihak Pertamina terus melakukan proses pendinginan untuk tangki 32 T-104 yang berdekatan dengan tangki 31 T-7 dan suhu saat ini dapat dijaga di bawah 40 derajat Celcius. Tim pemadam tetap melakukan penyemprotan foam dan air sebagai upaya pendinginan untuk memastikan temperatur tangki yang terbakar tersebut berada di batas normal untuk menghindari kemungkinan munculnya kembali api. 

Terminator Canon Foam yang mampu menyemprotkan campuran foam dan air dengan daya  lontar hingga 3.500 galon per menit ini membutuhkan foam sekitar 24 ton per jam dan suplai air dari 2 jalur pipa. Pasokan foam terus ditambah dengan mendatangkan stok dari beberapa daerah, termasuk dari Jakarta sebanyak 25 ton. 

Pada saat yang bersamaan, proses proteksi dan pendinginan di tangki 31 T-104 yang berdekatan dengan tangki 31 T-7 juga terus dilakukan untuk menjaga suhu tangki tersebut di bawah 50 derajat celcius. Sementara kedua tangki yang terbakar lainnya, yaitu tangki 31 T-2 dan 31 T-3 sudah dinyatakan padam sejak Minggu (3/4). Proses pemadaman dan pendinginan yang hingga kini terus dilakukan tidak terganggu oleh gempa berskala 7,1 Skala Ritcher yang terjadi di Cilacap pada

Di tempat terpisah, ketika indoPetro menyambangi ruang kerja pengamat Health Safety Environment (HSE), Suhatman Ramli di Jakarta. Menurutnya faktor utama dari penyebab kebakaran adalah standar dari fasilitas yang kurang memadai dan kurang maksimalnya sumber daya manusia yang ada dalam menerapkan standar HSE yang berlaku. Dari sisi sub standar ada dugaan tangki itu mengalami kebocoran kemudian ada gas yang keluar dan menjalar mendekati sumber api.

Bicara tangki bocor itu merupakan permasalahan serius, sambung Suhatman, yang mana kilang adalah peralatan vital dan harus dilakukan pengecekan secara rutin. Menurut prosedur yang berlaku, ada faktor kondisi tangki yang secara sub standar sudah diketahui sebelumnya atau belum, tapi saya yakin sudah diketahui. Karena ada program perawatan tangki, bisa jadi penyebabnya adalah belum adanya biaya perawatan. Dari sisi sarana ada faktor kenapa kebocoran itu tidak terdeteksi, berarti tidak adanya prosedur dalam bekerja. 

Suhatman menambahkan, sebenarnya bantuan dari luar negeri tidak terlalu dibutuhkan selama sumber daya Pertamina itu sudah siap, sedangkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di setiap kilang sudah mencakup prosedur keadaan darurat, yang mempunyai beberapa tingkatan. Kalau kejadian Cilacap sudah tingkat 3 (nasional), memang semua prosedur sudah ada, namun apakah itu pernah disimulasikan? Terlihat ketika kejadian ada kepanikan dan tumpang tindih komando. 

Di dalam konsep penanggulangan bencana ada komando penanggulangan, itu yang berlaku di lapangan, komando emergency pada tingkat yang lebih tinggi, sifatnya mensupport. kemudian tingkat krisis management. Nah, itulah yang sering tidak satu komando dalam penanggulangannya. Sesuai SOP, strategi utama adalah mendinginkan tangki, bukan langsung memadamkan. 

Ada kesan ketika kejadian menginginkan api secara dipadamkan, padahal SOP penanggulangan kebakaran yang berlaku di dunia, ketika tangki masih penuh jangan langsung dipadamkan, namun harus didinginkan terlebih dahulu agar radiasi panas tangki bisa berkurang dan tidak menjalar ke tangki-tangki lainnya. Ketika ditanya apakah ada sabotase dalam kasus terbakarnya kilang Pertamina Cilacap, Suhatman menilai itu tidak ada, karena menurutnya ada saksi mata yang bilang api itu cepat menjalar dan murni kebocoran gas.

Sejak Pertamina menjadi Perseroan Terbatas (PT), orientasinya hanya profit dan kilang ini membutuhkan margin. Yang mana mempengaruhi biaya maintenance atau operasi, dan biaya pemeliharaan kilang jadi terbatas. 

Seperti diketahui, ketika kilang dibangun dulu memang sudah memenuhi standart, namun standart lama yang digunakan hanya standar minimum yang mengatur jarak tangki satu dengan yang lain. Namun seiring waktu berkembang, pembangunan kilang modern sudah memenuhi aspek standart minimum dan resiko. Pertanyaannya, apakah Pertamina sudah memenuhi standart? Memang sudah, namun hanya standar minimum sedangkan standart resiko masih jarang digunakan.

“Harapan saya, penerapan HSE di Pertamina harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, jangan memaksakan alat-alat yang dipandang tidak aman dalam pengoperasiannya. Prinsipnya, jangan hanya memikirkan faktor ekonomi (supply and demand) dalam pembangunan kilang, namun harus diperhatikan faktor kepadatan penduduknya. Apakah daerah tersebut rawan gempa atau tidak, kemudian sumber air harus memadai untuk suplai pendingin dalam jumlah besar ketika terjadi kebakaran,” pungkas Suhatman. Nurfahmi

Bisa dibaca juga di Majalah indoPetro Edisi Mei 2011 

indoPetro Edisi Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar