Jumat, 08 Juli 2011

PAK HARTO THE UNTOLD STORIES

Penyunting: Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Waluyo, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.


Buku Pak Harto The Untold Stories-Foto : Adi Wijaya
Pengantar

Sebelum masuk pada resensi, saya sebagai alumni Universitas Nasional yang sedari awal masuk kampus perjuangan itu sudah 'dicekokin' oleh senior: doktrin anti militer dan anti Soeharto atau SBY. Namanya juga UNAS (Universitas Anti Soeharto/SBY). Yang membuat saya dalam menulis resensi ini paradoks dengan hati kecil. Karena doktrin itu masih sangat melekat sampai sekarang sudah menjadi jurnalis.

Namun, yang namanya kerja profesional. Saya pun melakoni instruksi pimpinan redaksi untuk menulis buku tebal ini. Yang tentunya advetorial untuk majalah kami. Selamat menikmati!


Pak Harto Juga Manusia Biasa

Foto : Adi Wijaya, Model: NurFahmi Budi Prasetyo
Buku “Pak Harto The Untold Stories”, kini tengah banyak diperbincangkan orang. Buku yang ditulis oleh 5 orang dan mengungkap dari sisi-sisi yang berbeda itu memiliki 113 narasumber. Tidak hanya mereka yang memang dekat dengan Pak Harto, semisal kalangan keluarga dan para ajudannya, tapi juga yang di era Pak Harto berkuasa, dikenal cukup vokal dan bahkan dipenjara sebagai “musuh” orde baru. 

Sesuai judul memang ternyata banyak kisah-kisah, yang sebelumnya tidak pernah terpublikasi ke publik, atau bahkan yang sebelumnya dianggap sebagai “rahasia umum”, tetapi ternyata memiliki cerita yang berbeda. Sebut saja, kisah dibalik kematian Bu Tien, yong konon akibat peluru nyasar perkelahian anaknya – Tommy dan Bambang karena proyek mobil nasional, tetapi ternyata akibat serangan jantung, sebagaimana diceritakan oleh Soetanto, mantan Kapolri dan kini menjabat sebagai Kepala BIN (Badan Intelijen Negara).

“8 Juni 1921, Jenderal Besar H.M Soeharto, ayahanda yang sangat kami hormati, sangat kami cinta dan sayangi serta sangat kami banggakan dilahirkan. Alhamdulillah, Sembilan puluh tahun kemudian (8 Juni 2011), Allah Yang Maha Agung memperkenankan kami meluncurkan sebuah buku yang sarat bermuatan kenangan indah dan sejarah.” Begitulah kalimat pembuka ‘sekapur sirih’ dalam buku “Pak Harto The Untold Stories” dari Putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut.

Tidak lekang dari ingatan Mbak Tutut, sebuah pesan dari Ayahnya sesaat setelah Soeharto meletakkan jabatan sebagai Presiden RI setelah 32 tahun lamanya. Berikut petuah Pak Harto: Jangan pernah dendam dengan siapapun, Allah menyayangi orang yang sabar dan membenci orang pendendam. Karena kalau membalas dendam pun tetap tidak menyelesaikan masalah, malah rakyat yang akan semakin resah dan sengsara.

Dalam buku setebal 603 halaman dengan kertas eksklusif hard carton ini terhimpun tulisan beberapa petinggi negara seperti: Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad (1981-2003), Perdana Menteri Singapura (1959-1990), Mantan Presiden Filippina Fidel Ramos, Sultan Brunei Hajji Hasanal Bolkiah dan beberapa mantan anak buah Presiden RI ke 2 Soeharto.

Bahkan, lawan-lawan politik yang selalu berseberangan dengan Pak Harto, seperti AM Fatwa dan Taufik Kiemas juga tak luput menceritakan kenangannya bersama Pak Harto. AM Fatwa menuliskan memorinya ketika menjenguk Pak Harto di VVIP RS Pusat Pertamina, walaupun ketika Orba berlangsung AM Fatwa sering menjadi ‘bulan-bulanan’ militer dan intel, dan menjadi tahanan politik seumur hidup sebelum mendapatkan vonis 18 tahun karena amnesti ketika Zaman Presiden Habibie. Fatwa tidak pernah dendam sedikitpun, bahkan ketika Ia baru masuk melihat Soeharto terbaring pada akhir 2007, Fatwa merasakan ada sinar cerah tersirat dari senyum yang sangat tulus menyambut kedatangannya. Dan spontan Ia langsung mengecup kening Pak Harto, entah perasaan apa yang bergejolak di hati Fatwa ketika itu sampai hanya dia satu-satunya penjenguk yang berani menyentuh wajah Pak Harto.

Ada cerita lain yang menyentil rasa humanis dan bersahaja Pak Harto, tulisan Harmoko (Menteri Penerangan 3 periode pada Kabinet Pembangunan Soeharto) menceritakan kenangannya ketika diajak Pak Harto mancing. Spontan naluri jurnalisnya bereaksi, Ia menanyakan kepada Pak Harto mengenai rumor kalau setiap Bapak mancing pasti ada Marinir yang menyangkutkan ikan di kail. Rumor itu dibantah langsung  oleh Pak Harto, terlihat beliau sangat sabar dan memang mahir memancing. 

Kemudian ketika Harmoko menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ada undangan peliputan kunjungan Pak Harto ke Peternakan Tapos di Bogor. Sembari menunggu makan siang, rombongan duduk santai di pendopo, dan Ibu Tien sedang menyobek sambal di belakang, kesan santai saat itu benar-benar dirasakan Harmoko yang awalnya mengira acara akan sangat protokoler. Kemudian menjelang pulang, Pak Harto berpesan kepada Harmoko: Jangan banyak makan daging, usahakan makan tiwul saja yang rendah kolestrol. 

Menurut Harmoko, Pak Harto sangat memperhatikan rakyat Indonesia. Kalau ada pemberitaan di televisi mengenai jalan Trans Sumatera rusak misalnya, Pak Harto langsung meminta Menteri PU segera memperbaiki. Melalui safari Ramadhan, Pak Harto memantau dan memonitor kondisi masyarakat. Saat safari Ramdahan dari Sibolga ke Nias, rombongan Pak Harto naik kapal kayu yang di sana disebut feri. Di kapal berbaur dengan seluruh penumpang dan juga mengangkut hewan-hewan seperti kambing. Saat itu juga Pak Harto langsung menghubungi Menteri Perhubungan, “Coba diganti dengan feri yang lebih baik,” kata beliau. Itulah Pak Harto, beliau sangat cepat bertindak jika mendengar hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak.

Masih banyak lagi tulisan dari keluarga, kolega dan anak buahnya (menteri/pejabat) yang mengkisahkan sebuah cerita yang belum pernah terekspose, dan diungkapkan. Dalam buku inilah kisah-kisah penuh inspirasi terkuak dari sosok pemimpin yang dikagumi rakyatnya. Terbukti saat kepergiannya 27 Januari 2008, dari Jakarta-Solo, jutaan rakyat tumpah ruah di jalanan mengiringi perjalanan mobil jenazahnya. Buku ini diperkaya dengan koleksi foto kenangan Pak Harto saat menjadi Kolonel, Presiden dan menjadi rakyat biasa lagi. Tergambar jelas dalam cover foto buku ini berbicara, bagaimana bersahajanya Pak Harto yang duduk lesehan bersandar melepas lelah pada pagar kayu sebuah kebun di jalanan kampung yang telanjang tanah kerikil. Ya, lahir sebagai anak petani, ketika menjadi pemimpin pun beliau tidak menjadi kacang lupa kulit. Nurfahmi