Kamis, 05 Mei 2011

Pergumulan Sistem Ekonomi-Politik Indonesia (Sejak Proklamasi Hingga Reformasi)

by NurFahmi Budi Prasetyo on Tuesday, December 15, 2009 at 12:57pm

Indonesia dengan segala kekayaan alamnya merupakan daya pikat tersendiri bagi negara-negara asing. Tak heran sudah beberapa kali negara ini menjadi sasaran kolonialisme, Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, Jepang, merupakan negara asing yang pernah menggencarkan ekspansinya di bumi pertiwi ini, yang jelas misi utamanya adalah mendapatkan sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri tercinta kita ini.

Sebagai negara yang masih berkembang, jati diri bangsa ini masih belum terbangun kokoh baik dari sendi ekonomi maupun politik, terlihat dari nilai kesejahteraan dan kedaulatan ekonomi bangsa kita yang belum terwujud.

Pasca kemerdekaan (proklamasi) founding fathers kita mulai mencari karakter sejati Bangsa kita yang majemuk dan plural ini, dengan segala upaya mereka berkumpul bersama menyatukan visi dan misi bernegara. Dan akhirnya lahirlah Pancasila sebagai landasan dasar Republik ini yang merupakan manifestasi bersama Bangsa kita sesuai dengan sosiokultural kemajemukan masyarakat Indonesia. Pancasila berhasil mengakomodir perbedaan dan mereduksi ego-ego kedaerahan.

Dalam Pancasila termaktub ideologi sistem ekonomi-politik yang mengedepankan kekeluargaan, ada yang bilang Pancasila merupakan buah pemikiran para pendiri Republik ini yang dominan menganut pemikiran sosialis yang sama rata-sama rasa. Terutama Bung Karno yang terkenal dengan sinkretisme-nya (mencampur adukkan ideologi-ideologi yang ada), maka wajarlah dengan segala kekayaan sumber daya alam, negara ini tidak bisa lepas dari konstelasi atau setting ekonomi-politik internasional.

Sejak proklamasi hingga reformasi Indonesia menjadi arena pertarungan ideologi-ideologi besar di dunia, battle of idea, terutama ketika orde lama terlihat sekali polarisasi fragmentasi politiknya. Ketika itu dunia berkiblat pada dua kutub besar (bipolar) Blok Barat atau Blok Timur, antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menyimbolkan hegemoni Demokrasi Liberal dan Sosialis Komunis.

Ada sebuah pernyataan kontroversial, “bahwasannya kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Amerika Serikat”, kalau dianalisa lebih tajam pernyataan itu bisa saja benar. Melihat begitu mudahnya kekayaan alam kita dikeruk habis-habisan oleh Amerika Serikat, contoh sederhananya kontrak kerja antara Indonesia dengan korporasi perusahaan asing milik Amerika Serikat (Freeport) yang semenjak tahun 60-an hingga detik ini masih mengeruk hasil tambang di Papua yang jauh lebih menguntungkan pihak asing.

Bisa saja itu merupakan balas jasa negara kita terhadap hadiah kemerdekaan dari Amerika yang ketika itu akan mengancam menenggelamkan Belanda jika masih menjajah Indonesia, walaupun dalam catatan sejarah ketika itu Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang hanya menjajah kita selama tiga setengah tahun setelah Bangsa kita dijajah selama tiga setengah abad oleh Belanda.

Sungguh tidak masuk akal secara tiba-tiba Belanda yang sudah berabad-abad menjajah kita, bisa begitu mudahnya menyerahkan dan meng-ikhlas-kan negara jajahannya kepada penjajah baru bernama Jepang. Memang hasil perang dunia ke-dua menguntungkan Indonesia, dimana Amerika dan sekutunya mempunyai andil untuk menekan Belanda.

Mungkin bisa saja ada sebuah ketakutan dari Amerika Serikat yang mempunyai cita-cita ingin meliberalkan seluruh negara-negara di dunia ini dengan paham demokrasinya, ketika Belanda masih menjajah Indonesia, ada sebuah wacana ingin mengkomuniskan Indonesia dengan poros Moscow, Peking, Jakarta. Lihat saja, awal mula berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI), seorang orientalis Belanda yang mendoktrin tokoh-tokoh intelektual muda dengan paham komunisnya.

Tapi pada kenyataannya pasca kemerdekaan, Soekarno sebagai Kepala Negara selalu berkonfrontasi dengan Amerika Serikat dan lebih condong berafiliasi dengan rival Amerika dan Blok Barat, yaitu Uni Soviet dan RRC dengan Blok Timurnya.

Ditambah lagi dengan konsep Nasakom yang diterapkan untuk menguatkan kekuatan politiknya, Soekarno semakin membuat geram Amerika Serikat, dan Amerika melihat ini sebagai ancaman. Pada akhirnya kedekatan Soekarno dengan komunis menjadi bumerang buatnya, maka Amerika-pun juga mempunyai andil atas lengsernya Soekarno dari kekuasaan dengan menggunakan invisible hand’nya, Soeharto sebagai didikan CIA (agen intelijen Amerika) yang merupakan kepanjangan tangan Amerika untuk melengserkan Soekarno.

Di bawah rezim Orde Baru, Soeharto menitikberatkan pada sektor ekonomi dan menjadikannya sebagai panglima, tidak seperti ketika Orde Lama yang menomorduakan ekonomi dan menjadikan politik sebagai panglima. Soeharto dinilai berhasil dengan didukung kuat Militer dan kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuis (elit politik kelas menengah ke atas).

Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968.

Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

Stabilitas politik dilakukan kalangan militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada, dan memaksa parpol bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga.

Perusahaan negara banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain :

a. Ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara.

b. Ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri
Akibat berkurangnya pendapatan dari Migas, pemerintah melakukan penjadwalan kembali proyek – proyek pembangunan yang ada, terutama yang menggunakan valuta asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara – negara maju. Tahun 1983, Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke peringkat keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya.

Kapitalisme : yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin....
Memang Kapitalis menuntut kita untuk lebih kreatif, inovatif dan kompetitif, namun jika pasar sudah dituhankan, degradasi moral akibatnya..!!

Pasca Orde Baru runtuh dan berganti Reformasi, negara mulai mereformasi birokrasi yang KKN, walau pada kenyataannya saat ini reformasi masih mati suri, dan korupsi semakin merajalela. Di bidang politik memang mengalami perubahan yang signifikan, demokrasi semakin dewasa, namun hanya saja ongkos politik demokrasi sangatlah mahal, pilpres, pileg, dan ratusan pilkada setiap daerah benar-benar telah menguras anggaran negara.

Terlebih lagi di era globalisasi ini, hegemoni kapitalisme yang melanggeng sendirian pasca runtuhnya kekuatan sosialis komunis Uni Soviet. Sangat menggerogoti sistem ekonomi-politik yang melahirkan politik transaksional, perselingkuhan antara penguasa, pengusaha dan kaum intelektual sudah merusak sistem tata kelola negara ini, dan rakyatlah yang menjadi korban.

Belum lagi ketergantungan Republik ini terhadap negara asing, segala kebijakan yang ada di Jakarta selalu di-remote jarak jauh dari Washington. Penulis menguti “Majalah Intelijen”, dalam artikel yang berjudul “Power Broker”. Ketika Pilpres 2009 yang lalu, kubu Cikeas didukung oleh George Soros, Teuku Umar diusung CSIS (Center for Strategic and International Studies).

Ketua lobi tersebut dipercaya memiliki pengaruh di Washington. Peran kedua power broker itu tak bisa dilepaskan dari pentas politik di tanah air yang kemarin saling bertarung di Pilpres 2009. Soros pendiri OSI (Open Society Institute) dikenal memiliki pengaruh luas sebagai broker kekuasaan kelas dunia. Dia dekat dengan kubu Demokrat yang kini berkuasa di Amrik..

Kalau dulu masa kolonial Belanda, kapitalis menjelma dengan korporasi VOC-nya, saat ini neo-kolonialisme bermetamorfosa menjadi multinational corporation, korporasi-korporasi asing raksasa yang menjadi drakula, penghisap sumber daya alam di tanah air tercinta ini.

Sudah saatnya Indonesia bangkit dari keterpurukan, untuk mencapai kedaulatan dan kemandirian ekonomi-politik, sehingga bisa tetap survive menghadapi globalisasi ekonomi yang mana jika kita tidak siap bersaing, aksesnya bisa lebih buruk dibandingkan bencana tsunami Aceh, gempa di Sumbar, karena yang namanya ekonomi dan politik itu bersentuhan langsung dengan sendi kehidupan masyarakat.

  • Galih Prasetyo likes this.

    • Galih Prasetyo Kapitalisme adalah sebuah kebaikan, yang harus terjaga dari mimpinya; menyelamatkan gugus kehidupan manusia. Bukan gagasan (tese) INI dan ITU, Mari kita menaruh harapan pada kapitalisme untuk menjaga tidur kita dari mimpi buruk; "kemunafikan". Kapitalisme adalah manusiawi.
      December 15, 2009 at 9:56pm ·

    • NurFahmi Budi Prasetyo thnx lih bwt jempol n komentarnya, ente klo jadi buruh pabrik korban outsourcing, mungkin ga akan bilang manusiawi lg....
      December 16, 2009 at 11:22am ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar