Jumat, 06 Mei 2011

HMI, Keberagaman dan Keindonesiaan

HMI, Keberagaman dan Keindonesiaan


HMI, Keberagaman dan Keindonesiaan
PENDAHULUAN
Pada saat Lafran Pane[1] dan kawan-kawan mendirikan organisasi mahasiswa Islam, 5 Februari 1947 di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, kondisi sosial politik bangsa masih dalam upaya konsolidasi kemerdekaan dan juga menghadapi Agresi Militer Belanda dengan membonceng NICA yang ingin masuk menjajah Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan RI yang dibayar dengan keringat darah dan nyawa pejuang dari rakyat Indonesia menghadapi ancaman kedaulatan. Dari sisi potret umat Islam, semangat mempertahankan bangsa dan negara masih menyala dan membara. Oleh karena itu bisa dikatakan ide dasar pendirian HMI adalah:
(1)         Mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia
(2)         Mengembangkan dan menyebarkan syiar Islam
Ada dua nilai dasar yang perlu dicatat bila kita membicarakan HMI: yaitu soal nilai Nasionalisme Indonesia (kebangsaan) dan nilai keislaman. Nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits bagi HMI adalah menjadi inspirator dan motivator dalam kehidupan. Tentu saja sifat keislaman HMI mempunyai wajah yang inklusif, ramah, dan sejuk. Bukan wajah garang, keras, apalagi ekslusif. Bagi HMI spirit keislaman itulah yang menjiwai semangat kebangsaan atau jiwa nasionalisme Indonesia.
      Untuk itu perlu diurai bagaimana sebenarnya relasi antara agama, politik, negara, keragaman dan wajah keindonesiaan yang akan membentuk model masyarakat Indonesia yang ramah dan berperadaban.
KEBERAGAMAN (KEBHINEKAAN) AGAMA
Seringkali terjadi perdebatan soal ide pluralitas atau pluralisme di kalangan internal umat Islam, apakah dalam Islam ada atau tidak ada konsep pluralitas. Bila kita kaji, maka Islam sangat menghargai tentang pluralitas/ pluralisme. Al-Qur’an turun dalam konteks kesejarahan dan situasi keagamaan yang pluralistik. Setidaknya ada 4 keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab, tempat Nabi Muhammad menjalankan misi profetiknya sebelum kehadiran Islam: yaitu Yudaisme (Yahudi), Kristen, Zoroastrianisme dan Politeisme (yang dianut mayoritas masyarakat Mekkah).
Dalam sejarah Nabi Muhammad, pertemuan antara Muslim dan Kristen pada fase-fase awal berlangsung dalam suasana rukun dan harmonis. Hal itu bisa dilihat di saat Nabi yang tertindas di Mekkah oleh Kaum penguasa Quraiys melakukan hijrah ke Abessinia (Etoipia) untuk mencari perlindungan Raja Negus (Najasyi) yang beragama Kristen. Peristiwa ini sangat fenomenal di mana penguasa Kristen pernah menolong umat Islam dengan sikap terbuka. Juga di saat masa kecil Muhammad sebelum menjadi Nabi ketika melakukan perjalanan perdagangan, di Suriah bertemu dengan pendeta Buhari yang meramalkan kalau Muhammad akan menjadi seorang Nabi. Namun itu cerita masa lalu.
Ada banyak problem teologis dalam mendefinisikan identitas suatu agama di tengah lingkungan yang plural religius, yang oleh Hugh Goddard, dinyatakan bahwa ada cara pandang keagamaan standar ganda, yaitu menerapkan serangkaian standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain.
PLURALITAS AGAMA SEBAGAI KENISCAYAAN SEJARAH
Pluralitas (kebhinekaan) agama merupakan suatu suatu kenyataan yang tak terbantahkan dan merupakan historical necessary yang bersifat universal, sebagai sunatullah yang bersifat abadi.
“Setiap umat (komunitas agama) telah Kami berikan aturan yang jelas (syir’at) dan jalan yang terang (minhaj) – [QS. Almaidah: 58]”.

“Pada tiap-tiap umat telah Kami tetapkan cara-cara ibadat yang mereka lakukan. Karena itu janganlah kamu bertengkar mengenai soal ini, tetapi ajaklah mereka ke jalan agama Tuhanmu karena engkau berada dalam jalan yang benar...-[QS. Al-Hajj: 67]”.

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (wijhah) sendiri yang ia menghadap kepada-Nya, maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebajikan. Di mana sasja kamu berada, niscaya Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu – [QS. Al-Baqarah: 148]”.
TIPOLOGI RESPON KEAGAMAAN ATAS PLURALITAS AGAMA
Ada banyak teori tentang respon umat beragama terhadap realitas pluralisme atau kebhinekaan agama-agama. Ninian Smart menyatakan ada lima cara pandang atau sikap keagamaan dalam merespon hal tersebut.
(1)      Eksklusivisme Absolut: Yaitu cara pandang keagamaan yang melihat kebenaran sebagai hanya terdapat dalam tradisi agama sendiri, sedangkan agama lain dianggap sebagai tidak benar;
(2)       Relativisme Absolut: Yaitu cara pandang keagamaan yang melihat berbagai sistem agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain karena orang harus menjadi “orang dalam” untuk dapat mengerti kebenaran masing-masing agama;
(3)       Inklusivisme Hegemonistik: Yaitu cara pandang keagamaan yang melihat ada kebenaran dalam agama lain, namun menyatakan prioritas terhadap agama sendiri;
(4)       Pluralisme Realistik: Yaitu cara pandang keagamaan yang melihat semua agama sebagai jalan yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang sama;
(5)      Pluralisme Regulatif; yaitu cara pandang keagamaan yang melihat bahwa sementara agama memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing yang mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum terdefinisikan[2].
Oleh pakar yang lain, di antaranya Hans Kung, menyatakan ada empat kemungkinan respon terhadap kebhinekaan agama:
(1)    Tak ada satu agamapun yang benar, atau semua agama sama sekali tidakbenar (Atheisme). Pemikiran ini dianut oleh Feuerbach, Marx dan Freud. Bagi Feuerbach, esensi agama terletak pada pada manusia sedangkan agama hanya sebagai proyeksi manusia yang sama sekali bersifat jasmani saja (Atheisme Anthropologis). Bagi Karl Marx, agama disebut sebagai ideologi kaum borjuis, sebagai candu bagi masyarakat (Atheisme sosiopolitik). Bagi Freud, agama sebagai ilusi yang tidak sehat (Atheisme Psikoanalitis).
(2)         Hanya ada satu agama yang benar, dan semua agama lainnya tidk benar;
(3)         Setiap agama adalah benar atau semua agama “sama-sama benar”;
(4)       Hanya ada satu agama yang benar dalam arti semua agama lainnya mengambil bagian dari kebenaran agama yang satu itu.
Dari semua itu, maka respon atas sikap keagamaan dapat disederhanakan sebagai berikut:
(1)         Eksklusivisme, adalah cara pandang keagamaan yang menganggap agamanya sebagai satu-satunya jalan keselamatan;
(2)      Inklusivisme, adalah cara pandang keagamaan yang menganggap bahwa agamanya agamanya yang paling benar, namun tanpa mengingkari eksistensi kebenaran pada agama lainnya karena asal atau sumber agama yang sama (satu);
(3)         Paralelisme, yaitu cara pandang keagamaan yang menyatakan setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, yang pada akhirnya memilih kesejajaran agama.
KEBERAGAMAN SOSIAL BUDAYA
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural society). Furnival dalam buku Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967) menyebut ciri masyarakat majemuk di antaranya:
(1)         Kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan totalitas
(2)         Kurang memiliki homogenitas kebudayaan, dan
(3)         Kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Realitas ini akan membawa konsekuensi berupa kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; dan sering mengalami konflik di antara kelompok satu dengan lainnya.
Masyarakat majemuk yang kurang memiliki daya empati dan kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggotanya, oleh Edward Shild dalam bukuPrimordial, Personal, Sacred and Civil Tie (1957) dianggap sebagai masyarakat yang masih mempertahankan ikatan primordial. Uniknya dalam masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi, ikatan-ikatan primordial itu sering masih didengungkan sebagai landasan bagi penciptaan kesatuan politik.
Siapapun, baik pribadi maupun komunitas dalam suatu masyarakat, memang atau seringkali tidak dapat melepaskan diri dari “ikatan asali” atau primordial. Ikatan primordial, oleh Clifford Geertz dalam Ikatan Primordial dalam Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru (terj. 1987), diartikan sebagai perasaan yang lahir dari yang “dianggap ada” (to be and to have) dalam kehidupan sosial. Sebagian berasal dari hubungan langsung, dari keluarga, dari lingkungan keagamaan tertentu, bahasa dan dari suku tertentu. Menurut saya, ikatan primordial ini bila dalam realitasnya telah menghilangkan kebersamaan, melanggar hukum dan etika kesopanan serta menguburkan nilai kemanusiaan universal maka “ikatan asali” itu berubah bentuk menjadi primordialisme atau primordialistik. Akibatnya tidak dapat dibendung lagi muncul gerakan genocyte atau ethnic cleansing. Tidak dapat dibayangkan kalau Otonomi Daerah yang kita laksanakan itu semakin menghilangkan ikatan kebangsaan, lokal centris, serta bertindak destruktif.
Secara sosiologis, adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat, daerah dan pelapisan sosial itu, dalam kenyataanyatelah jalin-menjalin menjadi satu kebulatan kompleks serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokkan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut, menurut Nasikun (1990)[3], telah menghasilkan terjadinya kelompok (golongan) yang akan menjadi sumber dari mana para anggota kelompok kepentingan (interest groups) akan direkrut. Dengan formasi sosial yang demikian itu menurut saya dapatlah dimengerti bahwa konflik-konflik yang terjadi untuk sebagian kasus pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosio-kultural berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial.
Pierre van Den Berghe (1969) menyebutkan bahwa sifat masyarakat majemuk yang penting adalah:
(1)      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda antara satu dengan lainnya;
(2)      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
(3)         Sering berkonflik dan kurang mengembangkan konsensus;
(4)        Integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coersion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
(5)       Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Inilah sifat dan karakter masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi dari masyarakat majemuk.
AGAMA DAN POLITIK 
Kalau dikatakan bahwa agama adalah soal pribadi seseorang, maka hal itu benar dalam arti bahwa agama yang diyakini dan yang dianut oleh seseorang adalah soal dia semata-mata yang orang lain tidak berhak mengusiknya. Kalau kata-kata ”agama adalah soal pribadi” diartikan bahwa agama hanya mengurus kehidupan dan penghidupan pribadi seseorang dan tidak mempunyai sangkut-paut dengan kehidupan masyarakat dan negara, hal ini tidaklah benar, khususnya bagi agama Islam.
Islam adalah totalitas: mengatur hubungan orang-seorang dengan Allah, dengan sesama manusia, dengan masyarakat dan negara. Ungkapan bahwa Islam adalah agama totalitas bukanlah sebuah wishful thinking, bukan pula sebuah idealisasi, melainkan suatu persepsi yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist.
Persepsi tersebut pun dinyatakan oleh beberapa kaum orientalis, di antaranya Prof H.A.R. Gibb yang menyatakan: ”Islam is not just a religion.. it is a complete system of civilization”. Oleh karena itu, Islam di mana Al-Qur’an dan Hadist nya mengandung sejumlah prinsip-prinsip pokok dalam bidang kehidupan bernegara, Islam tidaklah dapat dipisahkan dengan politik. Agama lainpun kelihatannya tidak dapat melepaskan diri dari politik seperti yang ditunjukkan oleh gereja Katholik di Amerika Latin dengan Theology of Liberation-nya. Yang menjadi persoalan adalah agar prinsip “agama tidak dapat dipisahkan dari politik” itu diterapkan secara proposional dan berkesinambungan sehingga bermanfaat dalam rangka rangka kepentingan umum dan tidak menjurus kepada peluang-peluang bebas untuk melampiaskan setiap bentuk subyektivisme ataupun penyalah-gunaan forum-forum yang mengatasnamakan agama. Untuk itu perlu adanya tata perilaku (code of conduct) bagi setiap forum keagamaan.
ISLAM DAN NEGARA
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist tidak ada ketentuan yang memerintahkan kepada umat Islam untuk mendirikan Negara Islam (NI), sedang larangan untuk itu juga tidak ada. Ada pendapat bahwa Nabi Muhammad telah membangun masyarakat Islam Madinah yang telah merupakan suatu negara (dengan Konstitusi Madinah) walaupun masih dalam bentuk negara-kota (city-state), lalu ada anggapan bahwa telah berdiri Negara Islam Madinah adalah merupakan sebuah Sunnah Rasul. Oleh karena itu menjadilah kewajiban umat Islam untuk mengikuti Sunnah Rasul itu.
Terhadap persoalan ini dapat dikatakan bahwa jika dalam shalat lima waktu Nabi Muhammad memerintahkan: “Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku shalat”. Namun dalam soal negara, Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan: “Dirikanlah Negara Islam sebagaimana aku mendirikan Negara Islam Madinah”. Lagi pula Islam mempunyai sebuah kaidah yang berbunyi:
“... Yang mengenai soal ibadah, yakni mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, semua dilarang kecuali yang diperintahkan. Dan mengenai hidup keduniaan, semua boleh kecuali yang dilarang”.
Menurut yurisprudensi Islam, kaidah ini dinamakan Al baraatul-ashliyah[4]. Jadi dengan demikian maka mendirikan Negara Islam adalah tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan. Karena itu bagi umat Islam Indonesia tidaklah berkewajiban untuk mendirikan Negara Islam di bumi Indonesia.
        Negara Islam dan Syariah Islam. Menurut proponen gagasan NI, adanya NI adalah syarat mutlak bagi terlaksananya syariah Islam karena tanpa NI, maka syariat tidak akan mungkin terlaksana. Oleh sebab itu NI merupakan syarat mutlak bagi terlaksananya syariat, sedang terlaksananya syariah adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam, maka mendirikan NI adalah wajib bagi umat Islam, sesuai dengan kaidah: “Jika sesuatu pekerjaan tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu adalah wajib”. Bila dijabarkan: Karena syariah Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya NI, maka mendirikan NI adalah wajib hukumnya”.
Terhadap pendapat tersebut, ada bebeberapa persoalan:
(1)        Apakah kaidah tersebut yang berlaku untuk soal ‘ubudiyah dapat diberlakukan pula bagi soal non-‘ubudiyah, dalam hal ini NI?
(2)      Seandainya kaidah itu berlaku untuk non-‘ubudiyah, apakah benar (saya meragukan) bahwa adanya NI merupakan syarat mutlak satu-satunya bagi terlaksananya sariah Islam?
(3)        Apakah benar bahwa syariat Islam hanya dapat terlaksana dalam negara yang formilnya disebut NI?
(4)         Bila NI sudah berdiri tetapi syariat Islamnya belum dipahami atau sudah dipahami tetapi para penguasa NI tidak berniat melaksanakan syariat Islam, apakah syariat Islam lalu dapat terlaksana?
(5)         Dan sebagainya.
Sejarah Republik Islam Pakistan. Pakistan adalah bukti sejarah telah adanya NI tidak merupakan jaminan bagi terlaksananya syariah Islam. Setelah Sidang Konstituante Pakistan, Februari 1956 mensahkan Konstitusi maka berdirilah Republik Islam Pakistan (RIP). Dalam preamble to the constitution of the Islamic Republic of Pakistan, di antaranya tercantum: 
“.. Wherein the principles of democracy, freedom, aquality, tolerance and social justice as enunciated by Islam, should be fully observed.  ..Wherein the muslim of  Pakistan should be enabled individually and collectivelly to order their lives in accordance with the teachings and requirement of Islam, as set out in the holly Qur’an and Sunnah”.
Kenyataanya yang terjadi di RIP, demokrasi menjurus ke demokrasi liberal ala Barat, ekonominya bersifat oligarkial di mana kekuasaan ekonomi berada di tangan puluhan orang keluarga. Akibatnya demokrasi di Pakistan hancur (sampai hari ini?) dan negara Pakistan pecah dengan munculnya Bangladesh pada 1971.
Hubungan antara Umat Islam dan negara RI. Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah merupakan realisasi dari “kesepakatan bangsa” yang tercapai antara Golongan Islam dan Golongan Nasionalis pada tanggal 22 Juni 1945.  Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah merupakan “Negara Kesepakatan”. Isi pokok kesepakatan ialah:
(1)         Akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka, yaitu RI
(2)     Negara Indonesia yang merdeka akan mempunyai Dasar Negara, yaitu Pancasila.
Kesepakatan  22 Juni 1945 untuk dan atas nama Golongan Islam ditandatangani oleh pemimpin-pemimpin  yang mewakili umat Islam Indonesia, yaitu:
(1)         Wachid Hasyim (NU)
(2)         Kahar Muzakir (Muhammadiyah/ Partai Islam Indonesia)
(3)         Abikusno Tjokrosujoso (PSII)
(4)         Agus Salim (PSII)
Sedangkan Soekarno, Hatta, M Yamin dan Subardjo yang juga turut menandatangani, meskipun secara formal mewakili Golongan Nasionalis, adalah juga seorang muslim.
       Satu hal penting yang harus dipahami bahwa bangsa Indonesia menganut sistem Demokrasi Konstitusional. Ciri khas demokrasi Konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang  terhadap warga negaranya. Oleh karena itu disebu sebagai “Pemerintah berdasarkan Konstitusi” (constitutional government). UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai siste pemnerintahan negara, yaitu:
(1)       Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat);
(2)     Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
NASIONALISME INDONESIA
Paham Kebangsaan (nasionalisme) bagi negara Indonesia adalah mutlak harus dipertahankan dan sekaligus direvitalisasi sesuai dengan kebutuhan dan tantangan kondisi saat ini. Dalam hal ini bangsa (nation) mempunyai dua pengertian: pengertian sosio-antropologis dan dalam pengertian politis.
(1)        Dalam pengertian sosio-antropologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup dan merasa ada kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat, yang hidup dalam satu negara atau tersebar ke berbagai negara.
(2)         Bangsa dalam pengertian politik adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya. Menurut Rupert Emerson, nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar warisan bersama dan mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan[5]. Menurut Ernest Renan, nasionalisme sebagai kehendak untuk bersatu (le desire d’ entre ensemble).  
Nasionalisme Indonesia saat ini haruslah kontektual dengan kebutuhan jamannya. Hakekat dan substansi Paham Kebangsaan Indonesia ditentukan oleh sejarah, kebudayaan, watak dan cita-citanya sendiri. Kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tumbuh dan berkembang karena kesadaran untuk melawan penjajah-kolonialisme. Hal inilah yang membedakan dengan Nasionalisme Barat (dan Jepang). Kalau nasionalisme Barat adalah negara mempelopori timbulnya kapitalisme-kolonialisme, sedangkan nasionalisme Indonesia justru untuk melawan kapitalisme-kolonialisme. Kita mengetahui bahwa meskipun sama-sama menganut Paham Kebangsaan, namun kahekat dan isi Paham Kebangsaan masing-masing bangsa berbeda. Misalnya bagi Jepang, menguasai dan menduduki/menjajah bangsa Asia lainnya adalah karena spirit nasionalisme Jepang. Bagi bangsa Amerika Serikat, perang Vietnam adalah merupakan tugas suci demi negara, kehormatan dan tugas (country, honour and duty). Apa yang dipandang sebagai Fasisme Jerman, bagi rakyat Jerman adalah merupakan nasionalisme Jerman.
Mengingat perbedaan hakekat dan isi Paham Kebangsaan masing-masing bangsa, bagaimana dengan nasionalisme bangsa Indonesia? Karakteristik kebangsaan Indonesia adalah:
(1)        Nasionalisme rakyat yang religius dan beragama. Agama mengajarkan untuk menentang kemungkaran/kedholiman, sedangkan kolonialisme adalah bentuk kedholiman maka harus ditentang.
(2)         Nasionalisme Indonesia tidak berorientasi kepada kemegahan dan kebesaran (national glories and grandeurs) seperti yang terjadi pada Nasionalisme Barat yang ekspansionistik.
(3)   Nasionalisme Indonesia berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan keselamatan umat manusia. Dengan demikian Nasionalisme Indonesia mempunyai watak antikolonialisme-imperialisme. Hal ini bisa dilihat dalam prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD yang antiimperialisme dan antifeodalisme.
(4)        Nasionalisme Indonesia adalah nasionalismenya masyarakat pluralis yang pri­mor­di­al­nya berwarnakan perbedaan suku, agama dan keturunan. Namun telah melewati proses perjuangan menentang kolonialisme dan bersatu secara spontan tanpa paksaan dalam persatuan Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ikanya. Semuanya terumuskan dalam Trilogi Nasionalisme Indonesia, yaitu satu nation: Bangsa Indonesia, satu negara nasional: Negara Republik Indonesia dan satu ideologi nasional: Pancasila. 
Dari uraian di atas, setidaknya menjadi bahan renungan, refleksi, dan titik tumpu awal pembuka diskursus tentang bagaimana HMI, Islam dan masa depan Indonesia. Salam Yakusa !

[1] Lafran Pane memiliki background sebagai seorang ”nasionalis”, bukan seorang ”santri”. Kesadaran Lafran Pane sebagai inspirator dan inisiator mendirikan organisasi mahasiswa berlebel Islam tentu menjadi kajian tersendiri.
[2]  Ninian Smart, Pluralism, dikutip dari Majelis Tarjih, Tafsir Tematik Al-Qur’an.
[3]  Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia, Gajah Mada Press, 1990.
[4]  Dikutip dari pidato Mohammad Natsir di Sidang Konstituante, dalam buku Tentang Dasar Negara RI dalam Konstituante, Jilid I, penerbit Sekretariat Konstituante.
[5]  Rupert Emerson, form Empire to Nation. The Rise to Self-Assertion of Asian and African Peoples. Boston: Beacon Press 1960.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar