Kamis, 05 Mei 2011

Saya Dan Polisi

by NurFahmi Budi Prasetyo on Sunday, August 22, 2010 at 8:39am

Orasi dikawal  Polisi ganteng (paling kanan)-aksi di Mabes Polri menuntut aksi represif polisi  thd kader HMI Makassar
Sebagai bikers yang selalu bersetubuh dengan motor setiap berpergian pastinya kita tidak bisa lepas dari kehadiran aparat keamanan berseragam kacang tanah ini di jalan.
Energi Kritis Pasca LK 1 HMI

Sejak awal-awal menjadi mahasiswa, polisi selalu menghiasi episode demi episode kehidupanku sebagai mahasiswa. Aku punya pengalaman pahit ketika semester awal di bangku kuliah, waktu itu masih menyandang status sebagai member ANKER (bukan nama sebuah genk melainkan kependekan dari Anak Kereta). Kuingat betul hari kejadiannya yaitu senin, karena lima hari sebelumnya dari rabu sampai minggu ada training LK 1 HMI di puncak, Bogor.

Dalam kondisi tubuh yang masih tegang (jangan mikir macem2 ya) karena kelelahan pasca ditraining, paginya ketika di stasiun pasar minggu aku digelandang ke pos polisi sebelah stasiun, karena tertangkap basah tidak berkarcis saat turun dari kereta.

Tanpa basa-basi dua orang polisi Brimob langsung menawarkan dua sanksi hukuman, "Kamu pilih push up 100 X apa denda Rp50 ribu?", tanya polisi itu dengan tampang sangar. Berbarengan saat diriku disidang, di samping ada dua anak SMA laki-laki dan perempuan yang juga mengalami nasib sama. Namun karena kepolosan mereka, yang perempuan tidak mungkin push up dengan sangat terpaksa dirinya menyetor Rp50 ribu, dan yang laki-laki karena nggak mau rugi dia lebih memilih push up 100 kali.

Sebagai seorang mahasiswa yang sedang on fire kekritisannya ketika itu, karena masih anget-angetnya dituntut untuk selalu kritis ketika di training. Nah, praktis kupraktekkan "oleh-oleh"  kekritisan dari training pengkaderan HMI selama lima hari untuk test case beradu argumen dengan polisi. "Saya nggak naek kereta pak, tadi saya dari dalam stasiun habis nyari cd mp3..!!", ujarku dengan nada tegas seolah-olah tidak bersalah.

Polisi : "Kamu kuliah dimana & ngambil jurusan apa? Masak naek kereta bayar seribu aja nggak bisa?"

Gue: "Unas, Fisip Ilmu Politik, saya nggak naek kereta pak, kalau nggak percaya neh cd saya (kebetulan memang kemarin habis beli mp3.)"

Polisi: "Ooh anak Unas, pantesan banyak omong, kerjaannya kan demo terus," sindirnya.

Gue: "Terus bagaimana KTP saya pak, saya kan cuma mau beli CD MP3, lagian tadi di pintu depan sana nggak ada yang jaga, yasudah saya masuk aja."

Polisi : "Baik, kamu minta surat keterangan dari petugas loket yang disana, kalau tadi kamu nyelonong masuk lewat sana."

Gue : "Saya gak nyelonong pak, memang di sana banyak orang keluar masuk seliweran."

Polisi : "Berarti lagi gak ada yang jaga," ucap polisi itu dan nampak seperti kehabisan kata-kata untuk menjerat diriku menjadi tersangka tidak berkarcis.

Akhirnya, setelah berhasil melobi petugas di loket tiket kereta dengan menunjukkan surat keterangan tersebut kepada polisi, KTP yang mendekam di pos selama beberapa menit bisa kuselamatkan.

Cowboy Jalanan


Kupandangi layar notebook.  Kubaca berulang-ulang paragraf sebelumnya, kuingat-ingat lagi memori pahit yang pernah kualami ketika bersentuhan dengan Korps Bhayangkara tersebut. "Hmm, apalagi yah kisah pahit diriku sebagai masyarakat sipil yang pastinya pernah menjadi korban kearoganan aparat."

Asal tahu saja: setelah menjadi member organisasi mahasiswa Hijau-Hitam, diskusi dan aksi menjadi nutrisi bergizi bagiku. Apalagi aksi merupakan kesempatan emas diriku unjuk gigi mengkritisi pemerintah namun terkadang juga sedikit memaki-maki polisi (sebagai sebuah pelampiasan seorang korban tilang di jalan). *ketawa puas*

Untungnya mereka para polisi nggak bergeming ketika kita sindir-sindir atau mendapatkan hujatan dan cacian karena menghalangi tuntutan aksi kita. Terlebih ketika aksi di Mabes Polri kandang mereka di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.

Bicara jadi korban penilangan, siapa sih yang gak kesal ditilang. Sudah uang raib. Rasa malu dilihat ratusan pasang mata pengguna jalan juga kita tanggung. Seingatku, dua kali sudah sejumlah uang melayang dari kantong untuk 'berdamai' dengan mafia jalanan itu.

Pertama kali ketika punya si Ruby (panggilan sayang motor ninjaku), waktu itu di ruas jalan Juanda Depok, baru beberapa bulan dibuka untuk umum. Ada satu belokan yang posisinya tepat sebelum jembatan pertama Juanda. Daripada muter jauh-jauh mending lewat situ. Sialnya mata ini seperti dihipnotis tidak melihat persembunyian polisi yang sedang berkamuflase di balik pohon dan tanaman kota. "Priiit, selamat siang pak! Bisa lihat SIM dan STNK nya?" pinta seorang polisi berperawakan tinggi, dan terlihat kancing di perutnya terasa sesak karena perut yang offside.

Oknum Polisi Gendut: "Kamu kan tahu kalau di situ nggak boleh belok," katanya memulai sebuah strategi "mengolah" pemalakan terorganisir.

Gue: "Iya pak, saya buru-buru, (dalam hatiku, kalau nggak boleh belok, kenapa jalanan itu sengaja dibuat belokan dan tanpa ada rambu, memang benar-benar jebakan batman neh)," kilahku.

Oknum Polisi Gendut: "Ya sudah, sekarang gimana enaknya?"

Gue: "Saya cuma ada sepuluh ribu pak," ujarku sembari merogoh kantong celana.

Oknum Polisi Gendut: "Baik, jangan diulangi lagi yah," katanya sambil mengembalikan SIM, STNK dan tangannya dengan cekatan mengambil uang kuncian 10 ribuku.

Satu lagi kejadian penilangan kualami lebih tragis. Ketika itu aku dan Mahda habibatiy (baca-pacarku) baru saja dari Depok Town Square (Detos). Karena kebiasaan teledor, lampu depan lupa kunyalakan. Nggak jauh 100 meter keluar Detos, ada polisi langsung mencegat, dan kami pun diciduk ke dalam ruko show room mobil (tempat ngetem polisi lalu lintas).

Di tempat eksekusi itu aku disuruh menandatangani surat tilang berwarna merah dengan SIM sudah disteples di balik surat itu. Namun karena keenggananku melepas SIM baru (soalnya baru buat), maka jurus damai lagi-lagi kukeluarkan. Berhubung di kantong tinggal 50 ribu, dan nggak mungkin kutanya berapa harga uang damai per pasal, atau kuminta kembalian uang 50 ribu itu.

Alhasil 50 ribu, uang terakhir di dompet melayang juga, dan sialnya ada korban penilangan juga yang nggak pake helm berhasil berdiplomasi hanya dengan uang 10 ribu. Sedangkan diriku yang mempunyai kesalahan lebih ringan (gak nyalain lampu) dibandingkan nggak pake helm harus merogoh kocek lebih dalam:'(

Sepanjang perjalanan pulang, diriku hanya bersumpah serapah dan memaki-maki oknum polisi penilang yang tidak adil itu, (maksudnya adil, seharusnya diberlakukan tarif damai yang sama). *apes*

Ampuhnya Kartu Sakti

Kartu Sakti Anti Tilang
Praktis itu terakhir kali diriku berdamai dengan polisi, sisanya enam kali ditilang selalu beruntung bisa lolos. Karena baru kusadari ketika awal pergantian Kapolri Sutanto kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri, di jalanan tersebar spanduk bertuliskan 'Penyuap dan Penerima Suap Sama-Sama Melanggar Hukum'. Membuatku tersadar kalau berdamai itu sama saja dengan menyuap.

Beruntungnya aku menjadi panitia LK 2 HMI Jaksel (2007), karena bisa mendapatkan sebuah kartu sakti bebas tilang. Kartu itu adalah kartu nama seorang senior HMI yang mana beliau merupakan salah satu dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Begini ceritanya, aku yang waktu itu panitia OC LK 2, tugasku mengawasi materi di ruang sidang. Dan ketika senior itu mengisi materi mengenai Ideologi, Politik, Strategi dan Taktik (IdeoPolStraTak). Aku diluar menemani temannya. Selama kami mengobrol, tiba-tiba dia memberikan kartu nama senior yang sedang mengisi materi itu, tertulis di kartu itu namanya: Sidratahta Mukhtar, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan. Terdengar sangar memang, karena ada logo dan tulisan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia  (Mabes Polri) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dan dibawahnya tertera alamat, Kampus PTIK, Jl Tirtayasa Raya No. 5 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Sebelumnya aku mengenal senior satu itu sebagai salah satu kandidat yang gagal menjadi Ketum PB HMI ketika Kongres HMI di Makassar 2006. Dan ternyata baru kusadari, dia juga sedang mengambil S2 Ilmu Politik di Universitas Nasional Jakarta, kampusku.

Setelah kukantongi kartu sakti itu, awalnya hanya iseng-iseng memberanikan diri ketika kena tilang lagi di lampu merah pertigaan Margonda yang ke arah Juanda Depok (lagi-lagi di Depok, memang angker neh polisi-polisi Depok). *tepok jidat*

Ternyata polisi yang menilangku sudah agak berumur. Usianya kira-kira sudah kepala empat, terlihat dari beberapa helai uban terselip di rambutnya. Setelah beberapa menit menceramahi diriku yang terbukti bersalah karena menorobos lampu merah (lamer), yang mana ketika dari jauh aku sudah berusaha menghindari lamer dengan mengeber gas motor. Namun sial, si merah sudah menyala, dan si hijau nggak mau berlama-lama. Kembali ke uji coba kesaktian kartu sakti, yang mana jadi pengalaman pertama kali diriku ditilang tanpa 'uang damai'. Selama polisi itu berceramah, aku sibuk merogoh dompet, *dalam hati gelisah, dimana yah kutaruh kartu sakti itu*

Hap, akhirnya kutemukan juga sang ratu adil berwujud kartu nama ini, yups, kartu sakti memang benar-benar ampuh, baru melihat logonya saja si polisi langsung terdiam. *hening*

"Ini pak abang saya, kalau bapak mau bicara, langsung saya telpon," kataku dengan penuh percaya diri karena sejatinya aku tidak memiliki hubungan saudara dengan pemilik kartu nama itu, hanya kebetulan saudara sesama kader Hijau-Hitam, aku junior, dia senior beda 'ibu' (Komisariat dan Cabang).

"Oh, ini kakak kamu?" tanya polisi itu.

"Iya pak, sepupu saya."

"Oh, yaudah nggak usah ditelpon! Lain kali jangan nerobos lampu merah lagi yah," katanya dengan nada sedikit gugup.

Hufft, akhirnya berhasil juga membuktikan kesaktian kartu nama itu. Entah kenapa aku juga heran bisa mempunyai keberanian mengkadali polisi. Mungkin karena ketika itu dalam keadaan panik melihat Mahda yang aku bonceng sedang meringis sakit perut (kebiasaannya ketika mau mens), jadi aku berani menerobos lampu merah yang waktu itu lagi ramai polisi dan berani melobi pak polisi dengan kartu sakti itu.

Keesokan harinya, aku langsung pamer keberuntungan hari itu dengan menceritakan ke teman-teman HMI. Gara-gara ceritaku itu ada senior, waktu itu Korkom Unas Bang Dading ketilang di daerah Jakarta Pusat, dan dia langsung meneleponku dan meminta tolong dikirimkan nomor si empunya kartu sakti, kakanda Sidratahta Mukhtar. *ketawa ngakak sampe miying-miying*

Satu lagi kejadian di Pal Depok (lagi-lagi Depok, sekali lagi dapat piring cantik neh, hehehe..), waktu itu pagi-pagi aku juga boncengan dengan Mahda. Kita sedang terburu-buru mengejar jam kuliah, praktis kemampuan Valentino Rossi kukeluarkan.

Bahkan konyolnya di lampu merah Pal Depok, sudah kulihat banyak Polisi, tapi tetap saja kuterobos arah berlawanan dan ketika itu lampu merah pula. Wajar Polisi sangat marah, aku digiring ke pos polisi, dan ngerinya langsung disidang tiga polisi sekaligus, namun aku berdalih buru-buru karena terlambat ujian.

Akhirnya setelah beberapa menit diinterograsi, jurus kartu sakti pun menjadi andalan terakhirku. Horreee, ternyata berhasil lagi. Mahda yang menunggu dengan cemas di luar pos polisi cuma bisa tersenyum ketika melihat raut muka bahagia dari wajahku yang sudah deras berkucuran keringat jagung. Hehehe...:p

Dan kejadian lain di luar Depok kualami ketika ingin melihat Rakernas Kahmi (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta. Ketika di lampu merah terlama yang pernah kusinggahi, tepatnya di daerah kebayoran baru, dekat Kampus Al Azhar, yang ke arah Senayan, di sana aku benar-benar buta jalanan Ibu Kota, dari kejauhan polisi meniup kencang sempritannya sambil melambai-lambaikan tangannya menginstruksikan diriku ke arah pos polisi di bunderan yang ada air mancurnya.

Setibanya di pos polisi dekat air mancur bunderan Senayan, terjadilah pembuktian ampuhnya "kartu sakti":

Polisi : "Kenapa kamu tadi masuk ke jalur mobil? Jalur motor kan di sebelah kiri."

Gue : "Saya benar-benar nggak tahu pak. Baru sekarang saya ke daerah sini, biasanya cuma di Depok-Pasar Minggu aja pak," kilahku.

Polisi : "Itu kan ada rambu (yang memang agak ketutupan pohon dan daun), kamu nggak liat, emangnya kamu mau kemana?" tanyanya curiga.

Gue : "Ini Pak, saya mau ke acara Alumni HMI, banyak pejabat yang datang, dan kebetulan saya mau ketemu abang saya di sana (Sambil menunjukkan kartu sakti yang kumiliki)."

Polisi : "Oh, hotel Atlet Century Park Senayan, itu di belakan gedung itu, lurus aja, apa perlu saya anter (benar-benar sakti mandraguna neh kartu sakti, bisa ngerubah polisi yang lagi marah tiba-tiba jadi baik hati ingin mengantarkan pula)."

Gue : "Gak usah pak, saya sendiri aja," oke terima kasih yah pak (sambil mengambil SIM yang tergeletak di meja tanpa disuruh)."

Polisi : "Iya, lain kali jangan lewat kanan lagi yah."


Expirednya Kartu Sakti

Setelah enam kali berhasil lolos dari sitaan SIM dan palakan uang tilang, ternyata benar lagunya Tak ada yang abadinya-nya Om Iwan Fals, yang dinyanyikan ulang oleh Ariel Petrporn. Saking seringnya kugunakan kartu sakti itu, dan beberapa kali kehujanan di jalan. Atau dompetku yang jatuh di kamar mandi, praktis isi dompet juga terkena imbasnya: ada yang rusak, luntur dan robek. *berkabung*

Untungnya kartu sakti masih berhasil kuselamatkan, namun kondisinya sudah nggak semulus dulu, ujungnya sudah agak robek, dan terlihat sangat lusuh, warnanya juga sudah memudar. Padahal dulu ketika berhasil untuk pertama kali lolos dari tilang, aku berniat melaminating kartu sakti tersebut. Hehehe...

Lucunya ketika aku baru saja diterima sebagai wartawan Rakyat Merdeka, ketika itu hari pertama  berkerja. Dan aku pulang sekitar jam 7an malam, dalam kondisi terburu-buru karena Mahda sudah menungguku lama di Kampus. Saking buru-burunya, nggak sadar diriku telah melawan arah di jalan Prapanca, tepatnya di lampu merah sebelum gedung Walikota Jakarta Selatan.

Seorang Polisi muda menilangku, sambil membuka helm setengah full face-nya, terlihat dia mengenakan peci  putih ala jamaah Majelis Habaib. Dalam hatiku berkata: wah alim juga nih polisi, bisa diajak damai nggak yah. Tanpa melepas kaca mata ribennya yang silau, batinku bilang: lagi sakit mata atau tukang pijit alih profesi Polisi. Polisi muda itu menyidangku di sudut ruko, samping warung dekat lampu merah perempatan jalan Prapanca ke arah Kemang, Mampang dan Blok M.

Gue: "Saya buru-buru pak, ada liputan dengan Pak Menteri," teriakku di depan mukanya.

Polisi: "Mana kartu pers kamu?"

Gue: *dalam hati: mampus gue baru sehari jadi wartawan, mana belum dikasih pula tuh kartu pers* "Belum jadi pak, baru dibuatin yang baru, neh kartu nama saya," ujarku sembari menggelontorkan kartu nama wartawan Tempo (Pemateri pelatihan jurnalistikku setelah diterima menjadi wartawan RM).

Polisi: "Kamu jangan mentang-mentang wartawan terus ngasih contoh yang nggak baik sama masyarakat, wartawan apaan kamu ini, kartu pers nggak punya, saya laporin ke PWI kamu nanti," ujarnya dengan muka sangar.

Gue: "Saya bukan anggota PWI pak, Saya AJI," terus gimana pak, saya mau liputan neh,".

Polisi: "Mau PWI kek, Aji kek, tetap aja kamu salah, ini tanda tangan di bawah."

Gue: "Ini bapak hubungin abang saya aja deh, dia menegerti soal hukum, saya nggak terima kalau ditilang dengan bapak yang nggak berhak menilang, seharusnya petugas Dishub yang bisa menilang, bukan polisi seperti bapak, coba bapak ada surat tugas nggak?" tanyaku dengan sotoynya.

Polisi: "Kamu ini udah salah, sok tau hukum juga, kebetulan saya juga sarjana hukum, kamu jangan asal yah bilang-bilang saya nggak punya hak menilang, lucu benar kamu ini," kesalnya dengan nada marah.

Gue: "Oke deh pak, saya minta maaf udah salah (melas dan lemas karena kartu sakti ternyata sudah nggak sakti lagi), lain kali saya nggak ulangi lagi, saya boleh ambil SIM saya lagi dan pergi buat ngeliput kan pak, atau gimana enaknya," ucapku sembari action merogoh-rogoh kantong.

Polisi: "Saya gak butuh uang, sekarang kamu tinggal tanda tangan ini, nanti tanggal 26 juni kamu ambil di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera."

Gue: (dalam hati aku berdecak kagum, ternyata ada juga dari 1000 banding satu polisi yang nggak menghamba kepada UANG), oke deh pak, nanti saya tulis berita tentang bapak, karena menilang saya dengan melecehkan saya sebagai seorang wartawan, udah gitu tadi motor saya jatuh bapak malah ngetawain bukannya bantuin, katanya polisi mitra masyarakat (ketika digiring ke pos, motorku jatuh karena nggak rata tanahnya dan waktu motor jatuh si polisi malah tertawa lepas).

Polisi: "Terserah kamu mau nulis apaan, yang penting kamu tetap salah."

Itulah terakhir kali diriku berurusan dengan polisi soal tilang-menilang, dan hingga kini SIM-ku masih tersandera di PN Jaksel. Tiga bulan sudah menjadi wartawan (Agustus 2010), alhamdulillah dengan kartu pers di dada, belum pernah di-stop ketika ada razia operasi patuh lalu lintas.

Tulisan ini dibuat beberapa minggu sebelum Tempo mengungkap Rekening Gendut Perwira Tinggi Polri. Bukan dimaksudkan untuk melecehkan institusi Kepolisian. Penulis hanya berkeinginan oknum-oknum polisi 'nakal mafia jalanan' bisa diberangus. Semoga penulis tidak mengalami nasib seperti Prita yang diadili karena curhat di email dan ruang publik karena mengeritik kebijakan rumah sakit. Penulis mengeritik habis-habisan institusi Polri bukan untuk menjatuhkan, namun semata-mata demi terciptanya Reformasi Polri yang lebih baik.
Rekening Gendut Polri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar