Senin, 30 Mei 2011

Pancasila, Nasibmu kini....

Pancasila, nasibmu kini
Terbanglah garudaku
Singkirkan kutu kutu di sayapmu
Berkibarlah benderaku
Singkirkan benalu di tiangmu
Hei jangan ragu dan jangan malu
Tunjukkan pada dunia
Bahwa sebenarnya kita mampu

Mentari pagi sudah membumbung tinggi
Bangunlah putra putri ibu pertiwi
Mari mandi dan gosok gigi
Setelah itu kita berjanji

Tadi pagi esok hari atau lusa nanti

Garuda bukan burung perkutut
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan pancasila itu
Bukanlah rumus kode buntut

Yang hanya berisi harapan
Yang hanya berisi khayalan

Potongan lirik lagu Iwan Fals (Bangunlah Putra-Putri Pertiwi)


Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Prof. Emil Salim tidak bisa hadir dalam diskusi di Megawati Institute, Rabu 30 Juni 2010, Jakarta. Politisi PDIP Prof. Hendrawan Supratikno sebagai moderator acara diskusi rutin di Mega Institute, Ia mengomentari ketidakhadiran ekonom senior itu. “Kalo Pak Emil dateng, nanti dikira Wantimpresnya Mega,” ujarnya terkekeh.

Hadir dalam diskusi tersebut, Arif Budimanta (Direktur Eksekutif Megawati Institute), Harry Azhar Azis (Ketua Badan Anggaran DPR), Dr. Iman Sugema (pengamat ekonomi), Sukardi Rinakit (pengamat), Prof. Rokhmin Dahuri (bekas Menteri Perikanan dan Kelautan).

Diskusi dengan tema “Urgensi Ekonomi Pancasila Di Tengah Hantaman Global”, memaksa anggota DPR dan beberapa pengamat ekonomi angkat bicara. “Mengacu pada Pancasila, yang berujung pada adil dan makmur, namun kontradiktif menurut Presiden SBY ketika Pidato 1 Juni di DPR. Beliau (SBY) menegaskan kalau Pancasila berbicara masalah keadilan, bagaimana adil kalo selama ini investasi terbesar hanya di Jawa (60 persen),” kesal Hary Azhar Azis.

Hary menambahkan kekecewaannya ketika ada Bupati Natuna yang melapor kepadanya jika daerahnya sudah menyumbang ke kas negara sebesar 40 triliun namun yang kembali ke Natuna hanya 600 miliar.

Masih menurut Hary, “Dulu Orde Baru selalu dipuji-puji oleh World Bank dan IMF, sekarang Ibu Sri Mulyani juga dipuji setinggi langit oleh World Bank,” paparnya.

Bekas Ketua Umum PB HMI itu juga membandingkan era Soeharto dengan SBY, ketika Orba (tahun 1980-an) pertumbuhan sekitar 4-9 persen, namun sekarang SBY hanya menargetkan sekitar 5 persen, “Kenapa kalo nyusun target selalu rendah, tapi kalo urusan nyusun biaya selalu tinggi,” tambahnya.

Sementara itu Rokhmin Dahuri menegaskan akan bahaya kapitalisme, menurutnya kapitalisme itu sangat kanibal, negara-negara maju membeli sumber daya alam negara berkembang dengan harga yang sangat murah, baru kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih mahal.

Rokhmin terlihat sering melemparkan guyonan sekaligus sindiran kepada pemerintah, “Waktu saya di Pesantren Cipinang (Lembaga Penahanan), saya banyak baca buku ekonomi walaupun saya seorang nelayan, kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa kita dilibatkan dalam keanggotaan G 20, biar MNC (Multi National Corporate-red) asing bisa beli sumber daya alam kita dengan murah,” katanya.

Bekas tahanan kasus korupsi dana nonbujeter itu menyesali kebijakan pemerintah mengenai perjanjian perdagangan AFTA ASEAN-China. Menurutnya kita belum bisa menandingi kehebatan China, itu sama saja dengan mempertandingkan PSSI melawan Barcelona jelasnya sambil terkekeh-kekeh.

Hasil Liputan Nurfahmi yang tidak dimuat di Harian Rakyat Merdeka (30 Juni 2010)
 
Neolib VS Pancasila, ah...Apapun ideologinya, UANG tetap menjadi 'tuhan'
 
Alan Cabout hmmm... pak SBY... mana janjimu... program tabung gasmu gagal... bencana dimana2... musibah transportasi pun tak kunjung usai... rakyat miskin pun makin banyak menurut data luar bukan data BPS...
July 6, 2010 at 4:56pm ·
 
NurFahmi Budi Prasetyo kayak lagunya Nidji, "Mana Janji Manismu..." *Sang Mantan...hehehe
July 6, 2010 at 5:11pm
 
Alan Cabout SBY terlalu sibuk dengan pencitraan diri... presiden gagah ga ngebuat rakyat bebas kemiskinan om... hehehe July 6, 2010 at 5:18pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar