Kejayaan energi emas hitam (minyak), energi “primadona” negeri ini bisa dikatakan telah habis. Seiring penemuannya terus berkurang, dan saat ini mulai memasuki era gas.
Yang menjadi kendalanya, sebagian lapangan gas terletak jauh dari konsumen. Untuk mengalirkannya, dibutuhkan infrastruktur yang memadai antara lain: LNG Receiving Terminal, dan jaringan pipa distribusi. Pemanfaatan gas ditujukan terutama untuk mengurangi ketergantungan pada BBM dalam pembangkit tenaga listrik, sehingga dapat menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik.
Hal tersebut ditandaskan oleh Direktur Jenderal (dirjen) Minyak dan gas bumi (migas), Evita H Legowo, saat pembukaan seminar nasional Milis Migas Indonesia (MMI) dan Komunitas Migas Indonesia (KMI), di Jakarta (6/10/2011). Menurutnya, pada sambutan yang dibacakan Direktur Pengembangan Hulu Migas, Edy Hermantoro, krisis ekonomi global yang terjadi 2008, menyebabkan harga minyak sangat tinggi. Untuk itulah ketahanan energi menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Namun, diakui olehnya, bahwa beberapa tahun terakhir produksi migas nasional cenderung menurun. Untuk itu pemerintah menyiapkan beberapa strategi, diantaranya giat menawarkan WK (Wilayah Kerja) Migas, terutama di wilayah Timur Indonesia; peningkatan dan perbaikan daya tarik investasi, misalnya dengan mempercepat proses dan prosedur pengajuan pengembangan lapangan, penyediaan infrastruktur dan lainnya.
Penyediaan gas untuk sektor industri dapat meningkatkan daya saing, dan pada sektor transportasi dapat mengurangi penggunaan BBM bersubsidi. Pembangunan infrastruktur energi berupa LNG Receiving Terminal akan meningkatkan kontribusi sektor ESDM terhadap APBN dengan mengurangi sisi expenditure (subsidi).
Sementara itu, saat ditemui indoPetro di kediamannya, (8/11), Deputi Pengendalian Operasi Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) Rudi Rubiandini menilai, perlu ada percepatan pembangunan floating storage mid regasification unit (unit regasifikasi dan penyimpanan gas terapung/ FSRU), dan penyiapan Badan Urusan Logistik (Bulog) khusus gas. Bulog gas itu nantinya bertugas mencari dan menimbun cadangan gas-bagi kebutuhan nasional.
"FSRU harus disiapkan. Tidak peduli gasnya ada atau tidak, yang penting bikin dulu,” tegas Rudi yang juga Profesor Teknik Perminyakan ITB.
Senada dengan Rudi, Kepala BPMIGAS R.Priyono juga berbagi cerita kepada wartawan saat Media Gathering BPMIGAS beberapa waktu lalu. Priyono kesal saat dituding tidak memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik, dan malah ekspor gas ke Fukushima Jepang pasca Tunami.
“Waktu itu, Pak Hatta Radjasa Menko Perekonomian tanya sama saya: Pri, kamu nggak pernah mikirin gas, kita butuh gas! Saya dimarahin panjang lebar. Saya jelaskan, Pak, saat ini juga saya telpon Bontang dan BP di Tangguh untuk bawa gas kemana saja Bapak mau; ke Surabaya, Jakarta, Belawan, atau mana saja silahkan. Tapi, pak tolong dijawab, Kapal LNG saya mau berhenti dimana pak, dan bagaimana loading-nya? Beliau diam. Kemudian tanya lagi: Jadi Pri, selama ini gara-gara infrastruktur yah, You nggak bisa bantu kita?” ceritanya.
Kita sih mau saja detik ini yang sudah sampai Jepang kita panggil, sambung Priyono, karena sistem kita adalah menjual sampai titik penjualan. “Kalau titik penjualannya ada di Okinawa dan Fukushima, sebelum sampai pelabuhan itu, saya punya hak memanggil kapal pulang. Itu bedanya dengan bisnis lain, mesin dan sumber daya alam milik negara, walaupun sudah dikapalkan,” imbuhnya.
Jadi masalahnya ada di infrastrukur, tentu saja bukan tanggung jawab BPMIGAS, tapi mestinya pemerintah menyediakannya. Saya dengar, FSRU kuartal kedua sudah siap, dan banyak masalah bisa diselesaikan terkait infrastruktur.
“Terakhir, rapat dengan Menko terkait MPE3EI sangat massif. Semua peserta rapat sangat bersemangat untuk menyelesaikan masalah tadi, jadi kami yang senior ini bisa memberikan karpet merah kepada junior. Biar kita yang babak belur saat ini, dan era penerus tinggal menikmati,” tutupnya. Nurfahmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar