Gagal diet |
Di saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi beserta Menteri Keuangan sedang menggodok rencana Program Pensiun Dini PNS, untuk menekan efisiensi dan penghematan APBN. Juragan mereka, Presiden SBY, justru sangat kontradiktif dengan membentuk lembaga baru bernama Satgas TKI. Jelas yang namanya pembentukan lembaga baru butuh anggaran, struktur birokrasi baru yang pastinya ada perekrutan pegawai baru.
Bukan hanya sekali saja Presiden SBY membentuk lembaga baru, coba kita ingat-ingat kembali, bagaimana kinerja Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang menyebabkan disharmonisasi Presiden SBY dengan Wapresnya Jusuf Kalla pada 2006 silam karena tumpang tindih tupoksi UKP3R yang ‘offside’. Tengok juga, betapa gemuknya komposisi struktur birokrasi di lingkungan Istana an sich: Ada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang berjumlah 9 orang di berbagai bidang, ditambah lagi 9 orang Staf Khusus (Stafsus) . Lucu memang, ada apa dengan angka 9? Apa karena SBY lahir tanggal 9, dan angka 9 merupakan angka keramatnya jadi struktur organisasi di Istana ‘dipaksakan’ berjumlah 9?
Niat diet (badan) super khusus yang digiatkan Presiden SBY akhir-akhir ini, tidak sejalan dengan ikhtiar diet merampingkan gemuknya birokrasi kita, terutama di lingkungan Istana sendiri. Seharusnya, Presiden memberikan teladan kepada anak buahnya di Kementerian maupun institusi lainnya (Pemerintah Daerah). Kalau hobi membentuk lembaga baru tetap dijalankan, ini menunjukkan gagalnya diet reformasi birokrasi.
Pembentukan Lembaga Baru: Pemborosan APBN
Pertengahan 2010 lalu, ketika saya masih menjadi reporter di salah satu harian ibu kota yang konten beritanya dominan isu politik. Saat itu redaktur menugasi saya untuk menelusuri SK atau Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan lembaga baru yang menjadi hobi Presiden di saat ada permasalahan negara yang sangat pelik. Misi utama saya adalah melacak Keppres dan SK tersebut di Kementerian Sekretariat Negara, dengan harapan bisa melacak informasi mengenai apa saja lembaga baru bentukan presiden beserta jumlah gaji pimpinannya.
Alhasil, hanya tangan kosong yang saya dapat dari sana. Selain prosedur protokoler Istana dan birokrasi yang berbelit-belit. Kesan menutup-nutupi akan Keppres ini sungguh terlihat. Solusinya adalah saya menghubungi Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial, Sardan Marbun. Saya tanya pendapatnya mengenai tumpang tindih lembaga baru bentukan Presiden dengan institusi yang ada seperti Kementerian atau lembaga penegak hukum lainnya. Menurut Sardan, lembaga-lembaga baru itu sifatnya hanya temporer. Kalaupun tugasnya sudah selesai, nanti pasti akan dibubarkan. Adapun posisi Stafsus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, yang juga merangkap jabatan sebagai Sekretaris Satuan tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH), merupakan efisiensi anggaran. Menurutnya, gaji dan dana operasionalnya memang dari APBN, tapi tetap transparan dan dilindungi Undang-Undang.
Polemik pembentukan Satgas PMH yang saat itu ingin membongkar kasus Anggodo, menjadi bola panas di elit dan publik, terkait urgensi keberadaan Satgas PMH yang dinilai sangat politis terutama dalam kasus Gayus yang melibatkan dua kepentingan partai politik besar. Seperti diketahui, Satgas dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 berdasarkan Keppres Nomor 37 tahun 2009. Tujuannya, untuk membantu mempercepat pemberantasan mafia dengan kerjasama dan koordinasi dengan lembaga hukum lainnya, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, PPATK, dan yang lainnya. Tujuan pembentukan satgas juga, untuk menindaklanjuti Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan melawan tindakan korupsi.
Dalam investigasi reportase saya saat itu, terasa sangat sulit untuk meminta SK atau Keppres mengenai pembentukan lembaga-lembaga baru. Menurut fakta historis, hobi SBY membentuk lembaga baru sudah sejak Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009), diantaranya: Satgas pertama yang dibentuk SBY adalah Satgas Investasi Infrastruktur pada Januari 2005. Kemudian, dibentuk Satgas Flu Burung pada Maret 2007 dan Satgas Pemilu pada Oktober 2008. Dan yang paling menggegerkan adalah Satgas PMH.
Terakhir, Juni 2011, ketika Pemerintah menjadi kambing hitam atas hukuman mati TKI di Arab Saudi (Ruyati) yang dipancung karena membunuh majikannya. Terlihat sekali, pembentukan satgas adalah bukti kepanikan pemerintah atas hujatan dan kekecewaan massyarakat. Pembentukan Satgas yang merupakan lembaga ad hoc ini terjadi karena lembaga resmi negara tidak berfungsi.
Lembaga-lembaga bentukan Presiden perlu ditinjau keberadaannya. Sebab, belum memperlihatkan kinerja yang bermanfaat bagi masyarakat.Misalnya saja, Satgas PMH yang sampai sekarang belum mampu membongkar makelar kasus.Begitu juga, lembaga lainnya, sampai kini belum terlihat taringnya, sehingga sudah saatnya dievaluasi, apakah masih perlu dipertahankan atau dibubarkan saja.
Seperti yang kita tahu APBN sekarang defisit, dan hampir 40 persen APBN digunakan untuk belanja aparatur negara seperti: rumah dinas, mobil dinas, biaya perjalanan, gaji dan tunjangan. Seharusnya APBN diprioritaskan untuk pendidikan dan kesehatan atau untuk pembangunan. Dengan demikian, hal ini memperlihatkan jika APBN saat ini memang tidak pro rakyat dan lebih pro birokrasi.
Ketika saya wawancarai pengamat kebijakan publik, Ichsannudin Noorsy, Ia mengatakan lahirnya lembaga-lembaga itu akibat ketidakjelasan skema kekuasaan dan ketata-negaraan. Ada kesan lembaga itu sebagai pekerjaan orang bingung. Itu politik akomodasi dan bagi-bagi penghargaan.
Sedangkan menurut perspektif pengamat politik, Boni Hargens, banyaknya lembaga yang dibentuk Presiden tujuannya bukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah, namun sebagai ajang untuk bagi-bagi kekuasaan. Banyaknya lembaga ini juga merusak hukum tata negara yang sudah ada, dan merupakan politik balas jasa. Dikatakan dia, keberadaan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Watimpres, dan Staf Ahli juga sangat tumpang tindih dengan kinerja menteri yang sudah ada.
Seharusnya Presiden memaksimalkan kementerian yang sudah ada, dibandingkan membentuk lembaga baru. Apalagi kinerja mereka sekarang tidak begitu terlihat. Misalnya kinerja UKP4. Itu hanya akan membebani APBN. Kalau tujuannya untuk memperkuat kelembagaan yang ada dan menekan korupsi, itu baik. Tapi kalau hanya menghabiskan anggaran, itu yang perlu dievaluasi. Semua itu harus dimulai dari Istana Negara. Ya, reformasi birokrasi harus digalakkan dari hulu ke hilir, semoga.
*Nurfahmi Budi Prasetyo, Penulis adalah Bendahara Umum (Bendum) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Jabotabeka Banten 2010-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar