Kamis, 23 Februari 2012

Ketika EOR Menjadi Andalan, Namun Terganjal Payung Hukum


Sulit tercapainya produksi minyak 945 ribu barel perhari yang ditargetkan pemerintah pada 2011,  sebenarnya masih bisa diatasi dengan melakukan Enhanced Oil Recovery (EOR) secara berkesinambungan. Namun keinginan pemerintah dengan mengandalkan EOR, tidak dipikirkan bagaimana kepastian hukumnya.

Kendala utama EOR, ketika investor “jor-joran” menggelontorkan dana ternyata tidak diiringi dengan perlindungan hukum, demikian disampaikan Manager EOR Project Pertamina EP, I Putu Suarsana. “Apa solusi jaminannya, ketika perusahaan migas mengeluarkan kebijakan EOR? Mereka ketakutan nanti ditangkap KPK, karena kecenderungannya dianggap menyelewengkan produksi dan merugikan negara,” bebernya.

Suarsana yang juga pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti Jakarta ini mempermasalahkan percepatan teknologi EOR yang belum dilindungi oleh payung hukum. Menurutnya, ketika investor ingin investasi besar, seharusnya dilindungi agar iklim investasi menarik.

“EOR ini butuh biaya besar, dan masalah capital yang terjadi adalah main tunjuk langsung atau setelah open tender,” ujarnya kepada indoPetro seusai acara Seminar Nasional Ketahanan Energi di Universitas Trisakti, Jakarta, (8/12/2011).

Pertamina mengaku belum maksimal dalam percepatan EOR, sambung Suarsana, karena sebagai pemain, kita butuh kebijakan Pemerintah, baik itu BPMIGAS, Dirjen Migas, Kementerian ESDM ataupun Kementerian Koordinator Perekonomian. “Harus ada payung hukum, sehingga saat menunjuk operatornya, nanti tidak bermasalah dalam penunjukkannya,” jelasnya.

Menurut Suarsana, potensi recovery produksi Pertamina dari EOR bisa mencapai 17-20 ribu barel itupun baru dari 11 lapangan. Pertamina sendiri memiliki lapangan hingga 200-an lebih. Walaupun besar, tetap harus dihitung keekonomiannya. “Kalau dibilang EOR dibilang tidak ekonomis, dunia terbukti mengandalkannya,” katanya.

Karena memang itu cara untuk tingkatkan produksi, lanjut Putu, secondary tertier inilah yang membedakan minyak dengan gas. Gas berbeda, sekali dibor recovery-nya 80-90%, sedangkan minyak 20-25%. Nah sisanya 75% inilah yang dioptimalkan dengan EOR.

“Sayangnya, ketika EOR ingin menjadi andalan peningkatan produksi, namun karena belum ada perlindungan dari negara. Enam tahun terakhir ini EOR Pertamina ‘mandek’, karena di Indonesia memang belum ada capital flat,” tutupnya.

Menanggapi itu, Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BPMIGAS Gde Pradnyana mengatakan EOR itu kegiatan yang secara finansial berisiko tinggi, sama seperti melakukan pemboran eksplorasi. Suatu bahan kimia yang cocok untuk suatu lapangan, belum tentu cocok dengan lapangan lain. Menurutnya, air yang digunakan untuk campurannya juga sangat high specific. 

“Untuk mengcovernya itulah yang diperlukan payung hukum seperti yang dimaksud Pertamina. Khususnya Pertamina yang BUMN, jadi biaya projectnya sama seperti biaya eksplorasi,” jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah berharap KKKS bisa meningkatkan produksi semaksimal mungkin, baik itu lewat ekplorasi maupun EOR. Dalam hal ini, Chevron Pacifik Indonesia (CPI) sebagai KKKS dengan produksi terbesar di Indonesia termasuk yang diharapkan memaksimalkan EOR.

“Chevron sudah menjelaskan sistem yang dipakai, mulai dari water flooding dan air flooding, Chevron sangat berpengalaman dalam hal ini," kata Presdir CPI, Abdul Hamid Batu Bara kepada indoPetro di sela-sela acara Welcoming Dinner bersama Menteri ESDM Jero Wacik, di Jakarta, awal Desember 2011.

Disampaikannya juga, injeksi uap di Duri termasuk yang terbesar di Dunia. Chevron juga akan mengembangkan sistem Surfaktan flooding  di Duri agar produksi yang dihasilkan nantinya optimum. Nurfahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar