Senin, 30 Mei 2011

Tergiur Gas, China Klaim Natuna


Foto: gamil-opinion.blogspot.com

Setelah lama tenggelam beritanya, akhir Juli 2010 Cina kembali mengklaim peta wilayah perairan laut Cina Selatan sepenuhnya berada di bawah kedaulatannya. Dengan luas 1,3 juta mil persegi luas tersebut juga mencakup wilayah Kepulauan Natuna yang jelas-jelas masuk Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia.

Laut Natuna tentu sangat menggiurkan bagi Cina, mengingat kawasan ini merupakan alur pelayaran vital sebagai penghubung komunikasi di Utara-Selatan, dan Timur-Barat. China pun sudah melakukan kontrak eksplorasi minyak dengan perusahaan asing di sekitar Pulau Hainan yang ada di sebelah utara Natuna.
 
Ada sejumlah alasan untuk mempertegas pen­tingnya posisi Laut Cina Selatan. Pertama, wilayah ini merupakan wilayah strategis, yang sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer bagi negara-negara yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Kedua, Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur lalu lintas ekonomi internasional yang paling padat. Ketiga, Laut Cina Selatan merupakan pusat kekayaan migas masa depan yang diburu di tengah krisis energi saat ini maupun di masa mendatang.

Dari data yang dihimpun oleh INDOPETRO, Blok Natuna D-Alpha adalah blok gas dengan kandungan gas terbesar di dunia yang mana diperkirakan menyimpan sekitar 500 juta barel minyak, total potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf). Potensi gas yang recoverable sebesar 46 tcf (46,000 bcf) atau setara dengan 8,383 miliar barel minyak (1 barel oil equivalent = 5.487 cf ). Dengan potensi sebesar itu, dan asumsi harga rata-rata minyak US$ 75/barel selama periode eksploitasi, nilai potensi ekonomi gas Natura adalah US$ 628,725 miliar atau sekitar Rp 6.287,25 triliun (kurs US$/Rp = Rp 10.000).

Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan I Wayan Midyo menyangkal jika Cina dikatakan mengakui Kepulauan Natuna secara langsung. “Sebenarnya Cina mengklaim Laut Cina Selatan sebagai wilayah teritorinya, termasuk sebagian perairan Indonesia di sekitar timur laut Kepulauan Natuna,” katanya ketika dihubungi INDOPETRO.

Lebih lanjut I Wayan mengatakan klaim tersebut sebagai bagian dari strategi Cina dalam mencari sumber daya alam berupa cadangan gas dan berbagai jenis energi fosil lainnya di luar wilayah daratan Cina.

Sementara itu di tempat terpisah, Kepala BPMIGAS R.Priyono mengungkapkan adanya klaim tersebut biasa terjadi di luar negeri sana. “Wilayah perbatasan saling klaim-mengklaim sudah biasa, itu kan dinamika geopolitik, kita memang harus mengakui saat ini Cina bisa disebut negara super power baru, jadi bukannya harus menjadi musuh namun seharusnya mitra. Karena bagaimanapun juga Indonesia merupakan negara besar dengan kekayaan migasnya,” imbuhnya kepada INDOPETRO di akhir acara pembukaan Rapat Kerja BP Migas 14 Desember 2010.

Ia menegaskan secara de facto kepulauan Natuna jelas milik Indonesia, dunia internasional pun mengakuinya, jadi tidak ada yang perlu dirisaukan. Ditambah lagi dari sisi hubungan regional, saat ini Presiden SBY menjadi pimpinan di ASEAN.

Ketika ditanya mengenai keterkaitan kedatangan Presiden AS Barrack Obama sebelum akhirnya terjadi teken kontrak pengelolaan Blok D-Alpha di Kepulauan Natuna oleh Exxon Mobil awal Desember 2010, Priyono mengatakan itu hanya kebetulan saja orang menghubung-hubungkannya. “Kan biasa kalau dalam geopolitik migas selalu disangkut-pautkan, jadi pemilihan Exxon Mobil semata-mata karena paling reliable,” cetusnya.

Semoga dengan adanya ancaman klaim seperti ini bisa lebih meningkatkan kewaspadaan pertahanan militer Indonesia di daerah-daerah perbatasan dan wilayah perairan laut terluar, karena kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan harga mati.

Hasil Reportase Nurfahmi (Sudah dimuat di Majalah Oil and Gas indoPetro Edisi Januari 2011)
   
indoPetro Edisi Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar